BANDIT BERLAGAK SUFI


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 11 April 2012

Mendengar istilah bandit pikiran kita pasti tertuju kepada actor antagonis yang ada di pentas perfileman, drama atau opera. Istilah bandit merupakan istilah yang sangat indentik dengan kejahatan dan kekacauan. Bagi orang Aceh, istilah bandit merupakan gambaran orang jahat yang selalu membuat kekacauan dan keributan. 

Istilah “Bandit” sendiri berasal dari bahasa latin yakni bandere artinya brigand, perampok, perusak atau pelanggar hukum diluar perlindungan hukum (Suhartono ;2008). Bandit biasanya mengacu pada kegiatan yang lebih dari sekedar penjahat biasa. Tidak seperti maling yang mencuri barang korban dengan diam-diam, bandit tak segan-segan merampas barang korban dengan pemaksaan hingga bahkan menimbulkan pembunuhan. Bandit juga biasanya melakukan kegiatannnya berulang kali dengan hasil yang besar. Perbanditanpun memiliki motif yang berbeda beda karena terkadang kegiatan perbanditan pun bertujuan untuk membela kepentingan wong cilik yang sering disengsarakan oleh kalangan elite. Mungkin tokoh Robin Hood merupakan contoh perbanditan yang bertujuan untuk membela masyarakat kecil. Terkadang masalah kesukuan pun menjadi salah satu unsur perbanditan terutama di kota-kota besar dimana penduduknya begitu heterogen (sumber: sosbud.kompasiana.com).

Mancur Olson secara definitif membedakan dua jenis kejahatan (bandit), yakni bandit bergerak (roving bandit) dan menetap (stationary bandit). Bandit bergerak digambarkan sebagai pencoleng yang menguras harta disuatu tempat dan wilayah operasinya berpindah-pindah. Bandit jenis ini layaknya kawanan koboi yang menyerang suatu tempat untuk menguras seluruh harta dan setelah itu meninggalkan lokasi tersebut. Sedangkan bandit menetap adalah predator yang melahap segala harta yang ada., namun bandit ini tidak meninggalkan tempat tersebut. Mereka tetap tinggal di lokasi tersebut untuk membiakkan sumber daya ekonomi yang sudah diperoleh, bahkan terkadang memberikan kompensasi ”karikatif” kepada pemilik sumber daya. Kedua jenis bandit ini sama-sama menimbulkan kerugian terhadap masyarakat, namun dengan intensitas yang berbeda. Dalam perspektif tertentu, bandit menetap jauh lebih ganas ketimbang bandit bergerak karena penetrasi bandit menetap berlangsung dalam jangka panjang (http://lwijiwidodo.wordpress.com)

Selain istilah bandit orang Aceh juga memiliki istilah lain yang merupakan lawan dari bandit yaitu “aneuk muda”. Aneuk muda adalah actor utama dalam sebuah film atau drama. Dalam istilah formal aneuk muda disebut sebagai actor protagonist. 

Protagonis dan antagonis adalah dua peran dalam pentas seni yang memiliki karakter berlawanan satu sama lain. Jika protagonist identik dengan peran orang baik-baik, berbeda dengan antagonis yang merupakan cerminan dari sikap jahat yang merusak. Dalam menyaksikan sebuah film mayoritas masyarakat kita sering berpihak kepada tokoh protagonist dan hanya sebagian kecil penonton yang menyukai tokoh antagonis. 

Kebencian masyarakat kita terhadap tokoh antagonis yang disaksikannya dalam sebuah film terkadang sering menjalar kedunia nyata. Fakta ini pernah dialami oleh beberapa artis yang berakting dengan peran jahat dalam sebuah film sehingga mendapat balasan dari para penonton ketika mereka (baca: artis) sedang berada di dunia nyata. 

Bandit Politik

Dalam dunia politik istilah bandit memang tidak begitu populer, namun sifat, tingkah laku dan perangai yang dimiliki oleh sebagian politisi memiliki kesamaan dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh para bandit. Aksi teror, pemukulan, perusakan dan pembakaran yang dilakukan oleh oknum timses kandidat terhadap timses lawan politiknya dalam pilkada Aceh beberapa waktu lalu semakin mengerucut dan membenarkan dugaan kita bahwa ada bandit dalam prosesi pemilukada Aceh. Kehadiran para bandit dalam ritual pemilukada Aceh tidak terlepas dari lemahnya penegakan hukum di Aceh selama dijabat oleh Kapolda yang ada sekarang. Dari serentetan aksi kekerasan yang dilakukan oleh para bandit hampir tidak ada satu kasuspun yang berhasil dituntaskan oleh para Perwira dan Bintara Polisi yang sudah digaji oleh negara untuk menjaga ketertiban dan keamanan di negeri ini. 

Aksi kekerasan yang dilakukan oleh para bandit politik di Aceh selama ini meskipun sebagian identitas mereka sudah dikenal namun belum nampak tindakan nyata dari pihak Kepolisian dalam menyikapi fenomena tersebut. Janji-janji penegakan hukum yang selama ini di gembar-gemborkan oleh berbagai pihak, khususnya pihak Kepolisian hanya menjadi tinta mati yang tertulis di koran dan tabloid. Gertakan dari pihak Kepolisian untuk menindak, menangkap dan melumpuhkan para bandit hanya menjadi syair basi tanpa harga sama sekali. Buktinya para bandit masih bisa bergembira ria melenggak-lenggok melakukan aksinya tanpa ada rasa takut kepada hukum. 

Berlagak SUFI

Beda lubuk, beda pula ikannya, mungkin pepatah ini sangat cocok untuk menggambarkan para bandit politik yang ada di Aceh hari ini. Jika di film-film kita melihat wajah para bandit yang menyeramkan plus menakutkan, berbeda halnya dengan bandit politik yang ada di Aceh yang terlihat manis didepan tetapi di belakang mereka menusuk. Maaf, penulis tidak bermaksud mendiskreditkan kelompok ataupun kandidat tertentu, namun anggap saja tulisan ini sebagai sebuah ekpresi pribadi dari penulis dan merupakan manifestasi dari kebebasan berfikir dan berpendapat yang seyogyanya merupakan hak setiap orang termasuk penulis. 
Ilustrasi. Sumber: wardany.deviantart.com
Oke, kita lanjut. Hasil amatan penulis, para bandit politik di Aceh, ketika mereka berada di atas panggung, mimbar, dan ruang-ruang diskusi mereka terlihat bersahaja layaknya seorang “Sufi” dengan senantiasa mengucapkan slogan-slogan cinta damai dan anti intimidasi. Namun di belakang panggung, timses mereka bak pasukan elit terus merayap kesetiap pelosok desa dan kota dalam rangka menjalankan sebuah misi dengan sandi “Teror alias Intimidasi”. Untuk mencapai sebuah kemenangan mereka rela melakukan apa saja termasuk melawan hukum dan mengabaikan agama yang dulunya pernah mereka jadikan sebagai spirit perjuangan. 

Akhirnya, kita hanya bisa berharap agar masyarakat Aceh jangan sampai terpengaruh dengan propaganda yang dilakukan oleh para bandit politik yang akhirnya akan mengubah derajat tanah rencong dari “Serambi Mekkah” menjadi “Serambi Cowboy” dibawah pimpinan “Bandit Berlagak Sufi”.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Pikiran Merdeka


loading...

No comments