Antara Fiqih Doktrinal, Fiqih Toleran dan Phobia Mazhab


(Tanggapan Atas Tulisan Jailani M. Yunus dan Kairul Azfar – Mukhlisuddin)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 04 Juni 2013

Sumber: www.bazarbrunei.com
Setahun yang lalu, tepatnya 24 Mei 2013, Serambi Indonesia mengangkat sebuah artikel yang ditulis oleh Jailani M. Yunus, seorang dosen UIN Ar-Raniry, dengan tajuk “Fikih Doktrinal vs Fikih Toleran”. Tulisan Jailani M. Yunus (JMY) ini langsung mendapat respon dari Khairul Azfar dan Mukhlisuddin (KAMU); masing-masing berprofesi sebagai Mahasantri Ma’had ‘Aly LPI Mudi Mesra Samalanga dan Dosen STAI Al-Aziziyah Samalanga. Tulisan dengan tajuk “Meluruskan Phobia Mazhab” juga diterbitkan oleh Serambi Indonesia pada Jumat, 31 Mei 2013. 

JMY Vs KAMU

JMY, dalam tulisannya menyatakan bahwa pengamalan ajaran Islam masyarakat Aceh saat ini, berada pada titik yang sangat rendah, sehingga menyebabkan pemahaman fikih mereka stagnan, kaku dan tidak toleran. Pendapat ini ditanggapi secara dilematik oleh KAMU dengan menyatakan bahwa di satu sisi mereka setuju dengan argumen JMY tersebut, namun di sisi lain menurut KAMU, kesimpulan yang dibuat oleh JMY terlalu tergesa-gesa.

Hemat penulis, pada prinsipnya KAMU sepakat dengan JMY bahwa pengamalan ajaran Islam masyarakat Aceh saat ini telah mengalami stagnasi, namun KAMU justru keberatan dengan pernyataan JMY yang seolah-olah menjadikan Kitab Kuning sebagai biang-kerok kejumudan (stagnan) yang menimpa orang Aceh. Padahal, jika dicermati secara seksama, menurut penulis, tidak ada yang salah dengan pernyataan JMY karena kalimat yang ditulis oleh JMY tersebut terbatasi dengan kata kunci “mazhab fikih tertentu”. Artinya, stagnasi itu terjadi jika pembelajaran Kitab Kuning dikhususkan dengan mazhab tertentu, tetapi sebaliknya jika pembelajaran Kitab Kuning itu bersifat “lintas mazhab” maka tidak ada ruang bagi stagnasi. Dengan melakukan kajian Kitab Kuning lintas mazhab tentunya pola pikir dan wawasan para santri/mahasiswa akan terbuka setelah mereka menikmati sajian pendapat para ulama yang beragam dalam berbagai mazhab. Dengan demikian klaim-klaim sesat terhadap penganut mazhab lain akan dapat diminimalisir. 

Di bagian lain tulisannya, JMY memberikan solusi bahwa stagnasi yang telah mewabah di Aceh dapat diminimalisir dengan merubah pola pembelajaran fiqih di lembaga pendidikan Islam. Menurut JMY, subyek didik (mahasiswa dan santri) harus diarahkan untuk memahami syariat yang langsung bersumber dari Al-Quran dan Hadits serta tidak terbelenggu dengan displin fiqih. Secara halus, pendapat JMY ini pun mendapat kritik dari KAMU dengan menyatakan bahwa slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah merupakan slogan yang indah namun membahayakan. 

Menurut hemat penulis, solusi yang diberikan oleh JMY agar memahami syariat langsung dari Al-Quran dan Hadits sangat patut untuk didukung oleh semua pihak, mengingat Al-Quran dan Hadits adalah sumber utama dari sumber-sumber hukum yang ada. Hal ini juga sejalan dengan perintah Allah dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 59; “fain tanaza’tum fi syai-in farudduhu ilallah warasul” (apabila kalian berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul). Para ulama telah menjelaskan dalam kitab mereka bahwa segala perselisihan baik dalam perkara pokok (ushul) maupun cabang (furu’) harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassallam.

Di samping itu, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, Rasul Shallallahu 'Alaihi Wassallam juga bersabda; “taraktu fiikum amraini lan tadhillu ma tamassaktum bihima, kitabullah wasunnati nabiyyihi” (aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama kamu berpegang kepada keduanya, yaitu Al-Quran dan Sunnah Rasul). 

Namun demikian, solusi yang ditawarkan JMY tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, mengingat penguasaan ilmu alat mayoritas santri dan mahasiswa di Aceh masih sangat rendah. Tentunya hal ini akan menjadi kendala utama bagi para santri dan mahasiwa untuk dapat menggali langsung syariat dari Al-Quran dan Sunnah. Namun hendaknya fenomena ini tidaklah menjadi alasan bagi kita untuk bersikap “fatalistik” tanpa melakukan usaha-usaha dalam rangka mengubah fenomena yang terjadi. Sudah saatnya lembaga pendidikan Islam, baik konservatif maupun modern melakukan langkah-langkah jitu agar subyek didik mampu menguasai ilmu alat agar seruan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah tersebut dapat terwujud.

Di samping itu, anggapan KAMU yang menyatakan bahwa seruan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah merupakan slogan yang indah namun membahayakan, menurut penulis adalah tudingan yang agak keliru dan rancu, mengingat seruan tersebut merupakan perintah Allah dalam Al-Quran dan juga wasiat Nabi yang terdapat dalam hadits. 

Demikian pula klaim KAMU, bahwa slogan tersebut didengungkan oleh sebagian kalangan intelektual Muslim yang pada dasarnya kurang mengerti substansi dari slogan itu sendiri. Hemat penulis, anggapan KAMU ini tidak tepat jika tidak ingin dikatakan sebagai sebuah kebohongan belaka. Jika kita mau jujur dan menoleh ke jendela masa lalu, dapat diketahui bahwa slogan yang dimaksud oleh KAMU telah muncul 14 abad yang lalu, sebagaimana slogan tersebut telah termaktub dalam Al-Quran dan juga Hadits sebagaimana telah penulis singgung di atas. Pada perkembangan selanjutnya, slogan “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” dipopulerkan kembali oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H). Kemudian pada abad 12 Hijriah isu ini kembali diangkat oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1206 H) di Jazirah Arabiya. Slogan tersebut tidak hanya berhembus di Timur Tengah, tetapi menyebar ke seluruh benua. Di Indonesia, slogan tersebut juga dikampanyekan oleh tokoh-tokoh Paderi di Sumatera Barat semisal Tuanku Imam Bonjol yang dikenal gigih melawan Belanda pada awal abad ke-19 Masehi. Di tanah Jawa, slogan ini juga diperjuangkan oleh tokoh-tokoh nasional semisal KH. Ahmad Dahlan. Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah pada prinsipnya juga tidak asing dengan slogan “kembali kepada Al-Quran dan Sunnah”, Tgk. Hasballah Indrapuri adalah salah satu di antara tokoh-tokoh Aceh yang gigih memperjuangkan slogan tersebut. Sekarang mari kita bertanya kepada KAMU, benarkah intelektual muslim yang sebagiannya telah penulis sebutkan di atas tidak mengerti substansi dari slogan tersebut? 

Phobia vs Fanatisme

Setelah membaca tulisan JMY berkali-kali, penulis berani menyimpulkan bahwa tidak ada satu kalimat pun dalam tulisan tersebut yang mengindikasikan bahwa JMY phobia terhadap mazhab fiqih. Menurut analisa penulis, JMY hanya mengajak kita semua untuk tidak bersikap fanatik secara berlebihan terhadap mazhab tertentu, karena sikap fanatik tersebut dapat menimbulkan perpecahan di tengah umat. Seorang yang fanatik dengan mazhab, tentunya akan sangat mudah mengklaim orang lain sesat hanya karena praktek ibadah yang dilakukan oleh orang tersebut tidak sesuai dengan mazhab yang diikutinya.

Di bagian akhir tulisannya, KAMU menyatakan bahwa tidak ada yang salah dengan mazhab-mazhab fiqih seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, jujur saja penulis sangat setuju dengan pernyataan KAMU. Namun ironisnya, fakta yang terjadi sekarang di Aceh justru “monopoli mazhab”. Secara teoritis para Teungku di Aceh mengakui keberadaan empat mazhab mu’tabar sebagaimana disebutkan KAMU, namun secara praktis mereka justru menganggap bahwa Mazhab Syafi’ilah yang paling benar, karena Mazhab Syafi’i bersambung sanadnya kepada Nabi, sedangkan mazhab lain menurut sebagian Teungku di Aceh adalah tidak sah karena tidak bersambung kepada Nabi. Percaya ataupun tidak, inilah yang terjadi di Aceh hari ini. 

Di akhir tulisan ini penulis mengajak kita semua untuk tetap bersikap toleran sesama muslim meskipun di antara kita menganut mazhab yang berbeda satu sama lain. Ingatlah, setiap muslim itu bersaudara, meskipun mazhab kita berbeda, tapi agama kita satu dan kita juga beribadah kepada Tuhan yang satu. Wallahu Waliyut Taufiq.

*Artikel ini pada awalnya saya kirimkan ke Harian Serambi Indonesia, tetapi tidak dimuat. Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana
loading...

No comments