Antara Damai dan Merdeka

(Refleksi MoU Helsinky 15 Agustus 2005 dan Proklamasi Kemerdakaan RI 17 Agustus 1945)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 15 Agustus 2012

Ditinjau dari berbagai aspek, Aceh memang pantas disebut unik. Keunikan yang lahir secara natural tersebut dalam kondisi tertentu malah menjadi sesuatu yang khas bagi Aceh. Sepanjang sejarah kemunculannya di muka bumi ini Aceh telah mencatat cerita-cerita unik di masa lalu. Pada masa penjajahan Belanda meskipun Sultan berhasil dikalahkan oleh Belanda, namun perjuangan gerilya rakyat Aceh terus berlanjut di bawah pimpinan para Teungku Chiek dan Ulee Balang. Mungkin hal ini berbeda dengan daerah lain di mana Sultan merupakan simbol kekuatan, jika Sultan kalah secara otomatis rakyat pun kalah; dan hal ini tidak berlaku bagi Aceh. 

Di Aceh, siapapun berhak memakai gelar “Teungku” yang pada prinsipnya merupakan gelar untuk orang-orang berilmu khususnya dalam ilmu agama. Jika di daerah lain untuk dapat disebut sebagai kiyai atau ustaz mungkin harus belajar bertahun-tahun di pesantren dan bahkan harus memiliki pesantren baru kemudian bisa disebut sebagai kiyai. Hal ini berbeda dengan Aceh di mana gelar “Teungku” bisa didapatkan secara gratis tanpa melalui proses panjang. Sebenarnya masih banyak contoh lain yang tidak mungkin semuanya penulis sebut dalam tulisan ini. Dua contoh yang telah penulis sebutkan setidaknya bisa memberi gambaran kepada kita bahwa Aceh memang unik. 

Dalam konteks kekinian, khususnya pasca penandatangan MoU Helsinky 15 Agustus 2005 keunikan Aceh semakin bertambah. Khususnya di bulan ini (Agustus) Aceh memiliki dua hari bersejarah yang tanggalnya saling berdekatan. Tanggal 15 Agustus merupakan hari yang sangat bersejarah bagi Aceh sebagai pintu menuju Aceh baru yang damai setelah puluhan tahun dilanda perang (konflik). Di samping itu tanggal 17 Agustus juga merupakan momen paling penting yang tidak bisa dilewatkan oleh setiap anak bangsa di negeri ini dan tidak terkecuali Aceh yang pada masa silam juga sempat menjadi pusat pergerakan revolusi dalam mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda. 

15 Agustus

Bagi masyarakat Aceh tanggal 15 Agustus merupakan tanggal paling bersejarah yang merupakan tanggal ditandatanganinya sebuah nota kesepahaman antara Pemerintah RI dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka. Pasca penandatangan naskah tersebut kondisi Aceh yang sebelumnya dilanda konflik panjang secara perlahan mulai pulih dan lentera perdamaian mulai bersinar setelah sekian lama redup dalam rentang waktu hampir tiga puluh tahun lamanya. MoU Helsinky yang difasilitasi oleh CMI (Crisis Management Initiatif) dan dipimpin oleh Martti Ahtisaari bisa dikatakan sebagai sebuah produk politik yang sukses di mana sebelumnya di Aceh sudah beberapa kali dilaksanakan kesepakatan yang serupa namun akhirnya kandas di tengah jalan. Tanpa terasa gemuruh damai di Aceh sudah berjalan tujuh tahun dan para combatan GAM telah berhasil menguasai pemerintahan baik di eksekutif maupun legislatif melalui pergerakan politik. Pada tahun 2006 kursi kekuasan di tingkat provinsi berhasil dimenangkan oleh GAM dengan terpilihnya Irwandi Yusuf sebagai Gubernur Aceh periode 2006 – 2011. Di beberapa kabupaten kota di Aceh juga terjadi hal yang sama di mana kursi Bupati juga didominasi oleh mantan GAM. Fenomena ini berlanjut pada pemilu 2009 di mana mayoritas kursi Dewan Perwakilan Rakyat baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga didominasi oleh mantan GAM. Selanjutnya pada pemilu 2012 mantan GAM kembali memperoleh kejayaan politiknya dengan terpilihnya Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai Gubernur Aceh periode 2012-2017). Sederetan keberhasilan politik yang berhasil dicapai oleh mantan GAM dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir tidak terlepas dari momen bersejarah pada tanggal 15 Agustus 2005 silam. 

Ilustrasi Damai Aceh. Sumber: seputaraceh.com



Meskipun sebelumnya pihak Gerakan Aceh Merdeka merupakan musuhnya Republik ini namun pasca 15 Agustus 2005 permusuhan tersebut telah mencair dan hilang dalam ingatan kita. Perdamaian Aceh yang pada hakikatnya merupakan anugerah Allah Swt sudah semestinya kita jaga bersama agar terus bersemi sepanjang masa. Slogan-slogan anti RI yang dulunya kita jadikan sya’ir dan kita lagukan di setiap waktu sudah sewajarnya kita hapus dalam memori kita. Tidak ada lagi kata-kata “merdeka” karena pada tanggal 15 Agustus 2005 kita telah berkomitmen untuk kembali kepangkuan Ibu Pertiwi. Dan tentunya kita harus konsisten dengan keputusan ini. 

17 Agustus

Bagi bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan hari paling bersejarah mengingat pada tanggal tersebut bangsa Indonesia secara resmi memproklamirkan kemerdekaannya. Tanggal 17 Agustus merupakan tonggak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bebas dari penjajahan bangsa asing. Gema kemerdekaan juga merambah sampai ke Aceh yang notabene juga merupakan lumbungnya para nasionalis. Nab Bahany seorang budayawan Aceh dalam tulisannya di Harian Serambi Indonesia 21 Mei 2012 menyebutkan bahwa masyarakat Aceh rela berkorban jiwa raga, terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia hingga ke luar Aceh seperti yang kita kenal dengan perang Medan Area. Sejarah tak dapat dibohongi, di mana Radio Rimba Raya dioperasikan di Aceh sabagai satu-satunya radio yang mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, yaitu wilayah Aceh. Sementara semua wilayah-wilayah strategis di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki kembali oleh Belanda dalam agresi Belanda kedua (serambinesw.com, 21/05/12).

Ilustrasi HUT Kemerdekaan RI
Nurcholis Madjid dalam pengantar buku “Tragedi Anak Bangsa” sebagaimana dikutip oleh Nab Bahany dalam tulisannya menyebutkan bahwa Indonesia atau Keindonesiaan tidak akan mungkin ada seandainya tidak ada Aceh. Justru itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Aceh adalah “nafas terakhir Indonesia” (serambinews.com). Selain itu pada tahun 1948 Presiden Soekarno juga berkunjung ke Bireuen (Aceh)  dan sempat mengendalikan pemerintahan di rumah Kolonel Husen Yusuf. Bireuen ketika itu menjadi pusat pergerakan pasukan yang akan berangkat ke Medan Area.

Berdasarkan fakta sejarah tentang keterlibatan Aceh dalam proses kemerdekaan Indonesia maka sangat patut dan layak jika hari bersejarah 17 Agustus juga menjadi momen penting bagi Aceh yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Antara Damai dan Merdeka

Sebagaimana penulis uraikan di atas bahwa tanggal 15 Agustus dan 17 Agustus merupakan hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat Aceh. Sebagai bangsa yang pernah menjadi modal untuk kemerdekaan Indonesia sudah sepatutnya kita mempertahankan rasa nasionalisme yang telah diwariskan oleh para leluhur kita di Aceh. Meskipun Aceh sempat bergolak baik di masa Daud Beureueh (DI TII) maupun pada masa Hasan Tiro (GAM) namun berkat rahmat Allah semua itu telah kita lewati bersama. Pada prinsipnya, pasca 15 Agustus 2005 rasa nasionalisme Aceh yang sekian lama pernah pudar telah bersemi kembali dengan kembalinya GAM ke pangkuan RI. Kita telah berdamai dengan Indonesia hampir tujuh tahun lamanya, dan sudah sepatutnya kita pula berdamai sesama Aceh. Perbedaan pandangan politik antar sesama bangsa Aceh jangan sampai melahirkan permusuhan baru. Sudah saatnya bibir kita berhenti mencela saudara kandung kita yang notabene sebangsa sebagai “pengkhianat”. Seperti kata pepatah “jangan meludah ke atas karena akan menimpa wajah sendiri.” Menuduh bangsa sendiri sebagai pengkhianat sama halnya dengan menyebut diri kita sebagai pengkhianat. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Tabloid Modus Aceh




loading...

No comments