Ada Apa dengan Syi’ah?


(Tanggapan atas Tulisan Dr. Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, MCL, MA: Mengenal Syi’ah)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 05 Mei 2014

Menarik sekali membaca tulisan Hasanuddin Yusuf Adan (HYA) yang disajikan oleh Serambi Indonesia melalui rubrik opini Jumat, 02 Mei 2014. Tulisan tersebut bertajuk: “Mengenal Syi’ah”. Bagi kaum muslimin, khususnya di Aceh, terkhusus lagi bagi penuntut ilmu, tentunya sudah tidak asing dengan sebuah firqah yang bernama Syi’ah.

Paparan yang dikemukakan oleh HYA dalam tulisannya cukup jelas, padat dan berisi. Namun demikian, menurut pandangan penulis, ada beberapa hal yang nampaknya perlu diluruskan alias diklarifikasi agar publik tidak salah dalam menyimpulkan isi tulisan tersebut, sehingga timbul anggapan bahwa Ahlussunnah Waljama’ah dan Syi’ah sama saja. Sebelumnya, penulis mohon maaf kepada HYA, meskipun penulis tidak pernah belajar langsung kepada beliau, namun jujur saja, penulis banyak mengambil manfaat dari buku-buku dan tulisan HYA. 

Perlu pula penulis tegaskan, bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk menggurui HYA atau siapa pun. Apa yang telah disampaikan oleh HYA dalam tulisannya adalah sebuah ijtihad ilmiah yang patut diapresiasi oleh semua pihak. Namun demikian, meskipun pahit, sesuatu yang keliru mestilah diluruskan, tentunya dengan menjujung tinggi prinsip-prinsip objektifitas dan tidak memposisikan diri sebagai “paling benar”.

Siapa Syi’ah?

Di awal tulisannya – entah sengaja atau tidak, HYA secara lugas menyebutkan bahwa Ahlussunnah Waljama’ah dan Syi’ah pada prinsipnya adalah sama-sama muslim. Tentunya HYA tidak sembarang tulis dan memiliki landasan yang kuat pada saat menyimpulkan hal tersebut. Namun sayangnya, dalam tulisannya tersebut HYA tidak mengemukakan penjelasan yang memadai terkait dengan penyebutan Syi’ah sebagai muslim. Di sisi lain, HYA secara khusus juga memaparkan pokok-pokok keyakinan dari Syi’ah Zaidiyah yang menurut HYA dekat dengan pemahaman Ahlussunnah. Di samping itu, nampaknya HYA juga meyakini bahwa Syi’ah Itsna ‘Asyara (Syi’ah Imamiyah) dan Syi’ah Isma’iliyah Bathiniyah memiliki pokok-pokok keyakinan yang berbeda jauh dengan keyakinan Ahlussunnah Waljama’ah. Meskipun HYA mengakui berbagai kekeliruan pada Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Bathiniyah, namun HYA tidak secara tegas menyebut kedua firqah tersebut (Imamiyah dan Bathiniyah) sebagai “sesat”.

Ilustrasi Imam Syi'ah. Sumber: aliransyiah.com
Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa aliran Syi’ah ini didirikan oleh seorang mantan pendeta Yahudi dari Yaman yang bernama Abdullah bin Saba’. Aliran ini berfaham bahwa cuma ‘Ali Radhiallahu 'anhu dan keturunannya yang berhak menjadi Khalifah (Asmuni, 2000: 130). Seorang pembesar ulama dari kalangan Tabi’in, Alqamah bin Qais An-Nakha’iy, sebagaimana dikutip oleh Abidin menyatakan bahwa kaum Syi’ah telah berlebih-lebihan terhadap Ali Radhiallahu 'anhu, sebagaimana berlebih-lebihannya kaum Nashara terhadap Nabi Isa ‘Alaihissalam. Golongan Syi’ah juga sangat gencar mencela dan bahkan mengkafirkan para shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam. Menurut mereka, melaknat dan mengkafirkan para shahabat adalah ibadah yang sangat mulia (Abidin, 2012: 61-70). Terkait dengan pengkafiran terhadap para sahabat Rasul oleh pentolan-pentolan Syi’ah di Iran, secara lebih jelas dapat diakses melalui media youtube, di mana dalam salah satu video terlihat jelas salah seorang ulama besar Syiah bernama Yasir Habib secara terang-terangan mengkafirkan Abu Bakar, Umar, Usman dan Aisyah Radhiallahu 'Anhum. 

Meskipun dalam berbagai kesaksiannya, Syi’ah mengaku sebagai pengikut ‘Ali bin Abi Thalib, namun perlu dipahami bahwa Syi’ah bukanlah aliran yang didirikan oleh Ali bin Abi Thalib. Perlu pula digarisbawahi bahwa Ali dan keturunannya bukanlah Syi’ah sebagaimana diklaim oleh sebagian pihak. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir (1984: 12), dalam bukunya “Asy Syi’ah As Sunnah” terbitan Lahore Pakistan 1974 yang telah diterjemahkan dalam versi Bahasa Indonesia oleh Bahrun Abubakar; menyebutkan bahwa Ali Radhiallahu ' anhu berkali-kali dibuat geram oleh tingkah Syi’ah. Dalam salah satu khutbahnya Ali berkata: “Semoga Allah melaknat kalian, karena kalian telah membuat aku geram. Dan kalian telah memenuhi dadaku dengan bara kemarahan dan kalian telah menuangkan racun kesusahan ke dalam tenggorokanku seteguk demi seteguk. Sehingga rusaklah segala macam rencanaku akibat pengkhianatan kalian terhadap perintahku.”

Menurut Syaikh Ihsan, uraian tersebut beliau ambil dari referensi paling terpercaya di kalangan Syi’ah, yaitu dalam kitab yang dikarang oleh Abul Hasan Muhammad Ridha (pemimpin Syi’ah terkemuka). Selain itu, meskipun mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait (keluarga Nabi) kaum Syi’ah juga telah melakukan pengkhianatan keji terhadap Husen bin Abi Thalib sehingga beliau (Husen) terbunuh di Karbala. Tidak hanya itu, terbunuhnya Khalifah ‘Utsman bin Affan juga merupakan bagian dari propaganda Syi’ah.

Menurut hemat bacaan penulis, dari beberapa referensi disebutkan bahwa secara keseluruhan Syi’ah tersebut adalah “sesat” atau setidaknya telah menyimpang dari ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam firqah Syi’ah itu sendiri juga berkembang berbagai aliran pemikiran yang berbeda satu sama lain. Namun demikian, di kalangan para ulama Ahlussunnah hampir tidak ada khilaf tentang “sesatnya” paham Syi’ah tersebut. Cuma saja, para ulama melakukan katagorisasi terkait golongan Syi’ah, di mana sebagian dari aliran Syi’ah itu menurut para ulama telah keluar dari Islam, dan sebagian aliran lainnya tidak dikeluarkan dari Islam.

Syi’ah di Aceh

Jika merujuk dalam catatan sejarah dapat disimpulkan bahwa Syi’ah sudah terlebih dahulu menginjakkan kakinya di Indonesia sebelum kedatangan Sunni (Ahlussunnah Waljama’ah). Sejarah juga mencatat bahwa Aceh adalah wilayah yang pertama sekali memeluk agama Islam. Thamrin dan Edy Mulyana dalam catatan kaki bukunya nomor 56 menyebutkan bahwa pada tahun 173 Hijrah atau 800 Masehi, sebuah kapal yang datang dari Teluk Kambey (Gujarat) berlabuh di Bandar Peureulak (Aceh Timur). Kapal ini dipimpin oleh Nahkoda Khalifah dan membawa para pasukan angkatan dakwah yang terdiri dari orang-orang Arab Quraisy, Palestina, Persia dan India. Para angkatan dakwah ini merupakan pemimpin-pemimpin kaum Syi’ah yang ketika itu dikejar-kejar oleh Dinasti Abbasiyah di tanah Arab, Persia dan India. Sesampainya mereka di Peureulak akhirnya mereka mendirikan Kerajaan Islam yang beraliran Syi’ah (Thamrin & Edi, 2007: 39). Pemakaian nama “Syah” pada nama-nama sebagian besar Sultan Aceh (seperti Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Johan Syah, dll – pen) juga menjadi bukti adanya pengaruh Syi’ah dan kebudayaan Persia di Aceh (Thamrin & Edi: 114-115), meskipun sultan-sultan tersebut tidak beraliran Syi’ah.

Membentengi Diri

Sebagai masyarakat Aceh yang telah mempersaksikan diri sebagai Ahlussunnah Waljama’ah, maka sudah sepatutnya kita konsisten dengan keyakinan-keyakinan yang dianut oleh Ahlussunnah Waljama’ah sebagai aliran “mainstream” (aliran induk) dalam Islam. Sudah sepatutnya pula kita menjadikan pokok-pokok pemikiran Ahlussunnah Waljama’ah sebagai “parameter” dalam menilai aliran-aliran lain, termasuk Syi’ah. 

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa Syi’ah memiliki keyakinan yang bertolak belakang dengan Ahlussunnah Waljama’ah, dengan demikian tidak perlu ragu untuk menetapkan bahwa Syi’ah adalah “sesat” dan menyimpang dari ajaran Islam sebagaimana hal ini telah dijelaskan secara jelas dan detil oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka. Diakui ataupun tidak, sampai dengan detiki ini, aliran Syi’ah masih berkembang di Aceh dengan memakai kedok sebagai “pecinta Ahlul Bait”. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban semua pihak khususnya orang tua, guru agama, ustaz, teungku, para ulama dan pemerintah untuk menjaga akidah masyarakat Aceh agar tidak terpengaruh dan terjebak dalam pemahaman Syi’ah. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini pada awalnya saya kirimkan ke Harian Serambi Indonesia sebagai tanggapan terhadap tulisan guru Kita Dr. Hasanuddin Yusuf Adan, tetapi tidak dimuat. Wallahu A'lam.

Artikel ini sudah dipublikasikan di Kompasiana 
loading...

No comments