Aceh dan Eksistensi Indonesia

(Peran Aceh dalam Agresi Belanda 1947-1949)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 13 Agustus 2013

Batee Kureng. Foto. A. Jakobi
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sebagaimana disebutkan oleh T. A Talsya (1990a) tidak diketahui oleh masyarakat Aceh, meskipun proklamasi tersebut telah disiarkan oleh beberapa radio. Pada 21 Agustus 1945, Radio Australia kembali menyiarkan bahwa Soekarno Hatta atas nama bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, namun sayangnya informasi ini juga tidak diketahui oleh orang Aceh karena ketika itu radio-radio milik rakyat telah disita oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak meletusnya Perang Asia Timur Raya. Berita kemerdekaan Republik Indonesia baru diketahui oleh rakyat Aceh pada tanggal 15 September 1945. 

Dalam sumber lainnya disebutkan bahwa berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah diketahui oleh sebagian kecil rakyat Aceh pada tanggal 21 Agustus 1945 melalui siaran Radio Australia, namun berita tersebut masih simpang-siur dan belum bisa diyakini kebenarannya oleh rakyat Aceh (B. Wiwoho, 1985).

Pada 29 September 1945 seorang putra Aceh, Mr. Teuku. Muhammad Hasan diangkat sebagai Gubernur Sumatera. Kemudian pada 1 Oktober 1945 di Mesjid Baiturrahman Banda Aceh diadakan rapat umum mengumumkan secara resmi berita Kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya pada 3 Oktober 1945 Gubernur Sumatera mengirimkan kawat kepada Residen Aceh agar di seluruh Aceh segera dikibarkan bendera Merah Putih, baik di kantor pemerintahan, rumah sekolah dan juga rumah-rumah penduduk tanpa kecuali. Pada pertengahan Juni 1946, tepatnya 28 Juni 1946 Presiden Republik Indonesia menyatakan seluruh wilayah Indonesia berada dalam keadaan bahaya. Menyikapi pernyataan tersebut di seluruh Aceh dipersiapkan benteng-benteng pertahanan untuk menghadapi pendaratan musuh. Pada 25 Juli 1946 Dewan Pertahanan Daerah Aceh memutuskan berlakunya mobilisasi umum di seluruh Aceh sebagai respon terhadap tindakan Belanda yang hendak menguasai kembali Indonesia. Pada 19 Agustus 1946 kapal perang Belanda melepaskan tembakan meriam dan menurunkan beberapa sekoci yang berisi tentara di Sigli, namun ketika mereka hendak mendarat, rakyat Aceh berhasil menggempur mereka sehingga sekoci-sekoci Belanda berbalik arah. Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pada September 1946 di Aceh didirikan laskar-laskar bersenjata yang akan membantu TRI untuk mengusir Belanda (Talsya, 1990a).

Pada tanggal 18 Januari 1947 sebagaimana dikisahkan Amran Zamzami (1985) suasana di Medan Area pagi itu sangat kacau akibat tembakan peluru dan bom milik pesawat Belanda. Ketika itu Belanda melakukan penembakan secara membabi-buta. Pada saat itu Aceh mengirimkan putra-putra terbaik untuk ikut bertempur di Medan Area.

Pada saat keadaan Kota Medan telah sangat genting, ketika itu Panglima Sumatera Mayjend Suhardjo Hardjowardjojo mengirimkan radiogram kepada kepada Divisi Gajah-I TRI Aceh yang meminta pemimpin-pemimpin rakyat Aceh untuk mengirimkan kekuatan Aceh ke Medan. Namun sebelum radiogram itu dikirimkan kepada rakyat Aceh, seluruh kekuatan yang ada di Aceh telah menuju Medan untuk membebaskan Kota Medan. Zamzami juga menceritakan bahwa meskipun situasi Kota Medan saat itu tidak menguntungkan bagi pertahanan infanteri, namun hal tersebut tidak menyiutkan semangat para pasukan Korps Istimewa Medan Area yang sebagian besar pasukan dan pimpinannya berasal dari Aceh (Zamzami, 1990). Pada Juni 1947, sektor barat Medan Area dan sebagian sektor utara telah ditempati oleh pasukan Mujahidin dan Tentara dari Aceh dibawah pimpinan Mayor Hasan Ahmad (Talsya, 1990).

Dalam literatur sejarah juga disebutkan bahwa Soekarno pernah menantang rakyat Aceh untuk ikut menyumbangkan sebuah pesawat terbang guna menerobos blokade udara Belanda. Namun sebagaimana disebutkan oleh A. Jakobi (1992) dalam situasi genting dan sulit itu rakyat Aceh justru berhasil menyumbang dua pesawat untuk Indonesia. Di samping itu “Radio Rimba Raya” juga memiliki peran besar dalam menyelamatkan Republik ini dari maut dengan mencounter suara Radio Batavia, Radio Belanda di Medan, Sabang dan Hilversium di Negeri Belanda yang ketika itu menyatakan Indonesia telah koma.

Akibat jasa-jasanya kepada Republik ini, Presiden Soekarno pernah menyebut Aceh sebagai daerah modal. Penobatan Aceh sebagai daerah modal bukanlah mitos dan isapan jempol belaka, namun hal tersebut merupakan fakta sejarah yang tidak bisa ditutupi oleh siapapun, termasuk oleh para petinggi di Republik ini.

Sjamaun Gaharu (1995) mengungkapkan bahwa pada 18 Juni 1948 tepatnya di Bireuen, Presiden Soekarno menyatakan bahwa daerah Aceh adalah daerah modal bagi Republik Indonesia karena telah berjuang mati-matian menahan imperialisme Belanda yang akan masuk ke Aceh. Sebelumnya pada 16 Juni 1948 dalam sebuah pertemuan di Banda Aceh sebagaimana diceritakan oleh Ali Hasyimi (1985) bahwa Presiden Soekarno juga menegaskan bahwa Aceh adalah “Obor Perjuangan Rakyat Indonesia”.

Setelah menyimak potongan-potongan sejarah yang telah penulis sajikan di atas sampailah kita kepada kesimpulan bahwa Aceh merupakan lumbungnya nasionalis yang rela mengorbankan harta dan benda demi berkibarnya Merah Putih. Kita memang tidak bisa menafikan pengorbanan yang telah dicurahkan oleh para pejuang lainnya di seluruh pelosok Indonesia, namun sejarah tidak dapat disembunyikan bahwa Aceh memiliki kontribusi besar dalam memperjuangkan Republik Indonesia agar tetap tegak berdiri, khususnya ketika Belanda hendak merampas kembali Republik ini.

Ketika wilayah lain di Indonesia telah porak-poranda akibat serangan Belanda, Aceh adalah satu-satunya wilayah di Republik ini yang masih segar-bugar dan menjadi pelopor untuk menyelamatkan Indonesia dari keruntuhan. 

Namun apa hendak dikata, takdir tak dapat ditolak. Sejarah juga telah mencatat bahwa masyarakat Aceh pernah dibuat kecewa oleh Pemerintah Pusat yang ketika itu diwakili oleh Soekarno. Air susu yang disuguhkan oleh Aceh kepada Jakarta, dikemudian hari malah dibalas dengan tetasan tuba yang sangat menyakitkan. Pembubaran Provinsi Aceh dan penggabungan dengan Sumatera Utara adalah racun berbisa yang pernah di hadiahkan oleh Jakarta kepada Aceh di masa lalu. Perlakuan tidak pantas yang dipertontonkan oleh aparat Repbulik ini kepada mantan-mantan pejuang Aceh, khususnya terhadap pemimpin besar Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh ketika itu telah pula melahirkan bibit kebencian kepada Republik dengan meletusnya pemberontakan DI TII di Aceh pada tahun 1953.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah pemberontakan DI TII reda, di Aceh kembali muncul pemberontakan baru yang pimpin oleh Hasan Tiro pada tahun 1976 dengan maksud hendak memisahkan Aceh dari rangkaian negara Republik. Hasan Tiro telah menanamkan rasa “Nasinalisme Aceh” kepada segenap masyarakat Aceh, sehingga Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpinnya tersebut mampu bertahan ± 30 tahun dan baru berakhir pada 15 Agustus 2005 setelah Gempa Tsunami meluluh-lantakkan Aceh pada Desember 2004.

Pemberontakan Aceh, baik yang digerakkan oleh Daud Beureu-eh maupun Hasan Tiro merupakan sebuah ekses dari ketidakbijakan pemerintah Republik Indonesia dalam memposisikan Aceh yang oleh Soekarno disebut sebagai daerah modal. Sebagaimana telah disebut bahwa Aceh adalah basisnya para nasionalis. Sejatinya pemberontakan itu tidak akan pernah terjadi jika Pemerintah Republik saat itu mampu bersikap bijak terhadap Aceh.

Sekarang, ketegangan Aceh-Jakarta telah sirna seiring dengan ditanda-tanganinya Memoranduf of Understanding antara RI dan GAM di Helsinky pada 15 Agustus 2005. Meskipun ketegangan secara fisik telah terhenti namun ketegangan-ketegangan dalam bentuk lain nampaknya belum seluruhnya pudar. Usia perdamaian di Aceh masih sangat belia dan baru berjalan delapan tahun. Usia perdamaian yang belum matang tersebut tentunya sangat sensitif dan rawan apabila tidak disikapi dengan bijak dan cermat.

Di akhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak, baik masyarakat Aceh maupun Pemerintah Pusat untuk tetap konsisten menjaga perdamaian dan saling menahan dari dari perilaku-perilaku dan sikap yang dapat menodai damai. Jangan sampai hanya karena Bendera dan Lambang lantas akan melahirkan permusuhan baru yang pada akhirnya rakyatlah yang akan menjadi tumbal dari kegaduhan tersebut. Wallahul Musta’an. Dirgahayu Republik Indonesia!

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments