Academic Freedom dan Fanatisme Masyarakat Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 20 Januari 2015

Sumber: kronikapemuda.blogspot.com
Kebebasan akademik, sebagaimana termaktub dalam PP No. 60 tahun 1999, merupakan kebebasan yang dimiliki oleh civitas academika untuk melaksanakan kegiatan yang terkait dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggungjawab dan mandiri. Arthur Lovejoy, sebagaimana dikutip oleh Santoso dari Haryasetyaka (2004), menerjemahkan kebebasan akademik sebagai kebebasan yang dimiliki oleh seseorang atau peneliti di lembaga ilmu pengetahuan untuk mengkaji berbagai persoalan serta mengutarakan kesimpulannya, baik melalui media penerbitan atau pun dalam acara perkuliahan, tanpa adanya campur tangan dari penguasa politik atau lembaga keagamaan dan juga lembaga yang memperkerjakannya, kecuali jika metode yang digunakan dalam penelitian tersebut bertentangan dengan etika profesional.

Kebebasan akademik tidak bersifat absolut dan harus memperhatikan etika professional dan etika yang berlaku dalam masyarakat. Kebebasan akademik tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai agama, kesusilaan, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Dalam kebebasan akademik, terdapat tiga konsep dasar; Pertama, sebagai seorang peneliti, seorang dosen harus memiliki kebebasan, karena penelitian tidak akan dapat dilakukan tanpa adanya kebebasan bagi peneliti. Kedua, sebagai pemikir asli, dosen harus bebas, artinya seseorang tidak akan mungkin bisa menjadi pemikir asli jika ia terikat dengan aturan-aturan di masa lalu. Ketiga, sebagai penyebar gagasan, seorang dosen dalam beberapa hal bisa bebas, dan dalam beberapa hal tidak bebas. Dosen sebagai pengajar dijamin bebas untuk membahas kajian ilmu dalam kelas dengan syarat menghindari materi yang tidak berkaitan dengan kajian keilmuan tersebut (Santoso).

Kasus Rosnida Sari

Beberapa waktu lalu, Aceh dihebohkan dengan “insiden” belajar di gereja yang melibatkan seorang dosen dan mahasiswa UIN Ar-Raniry. Dikabarkan bahwa Rosnida Sari (dosen UIN) telah membawa beberapa orang mahasiswa untuk belajar Studi Gender di salah satu gereja di Banda Aceh. Informasi ini tersebar cepat di media sosial (khususnya facebook) yang ditanggapi secara beragam. Sebagian komentar di media sosial tersebut melemparkan berbagai tuduhan terhadap sang dosen. Berbagai label pun disematkan pada nama Rosnida Sari, mulai dari sesat, missionaris, murtad dan bahkan kafir. Di kalangan dosen dan mahasiswa UIN Ar-Raniry sendiri, kasus ini juga memunculkan beragam tanggapan. Meskipun banyak yang mengecam, namun tidak sedikit pula yang mendukung.

Sumber: australiaplus.com
Sebagian pihak menuding bahwa “insiden Rosnida Sari” merupakan ekses dari hasil studi di Barat. Tudingan ini ditunjang dengan latar belakang pendidikan Rosnida yang pernah belajar di Australia. Entah ada hubungannya dengan kasus Rosnida, beberapa waktu lalu di UIN Ar-Raniry juga diadakan diskusi tentang Studi Islam di Barat yang menghadirkan beberapa orang pemateri, baik yang berlatar pendidikan Barat, Timur Tengah dan juga produk lokal. Tidak lama berselang, beberapa hari setelahnya, di UIN Ar-Raniry kembali dilakukan diskusi yang sama, namun sayangnya para pemateri yang dihadirkan hampir semuanya berlatar pendidikan Barat.

Yang menjadi persoalan sekarang, apakah kegiatan pembelajaran di gereja yang dilakukan oleh Rosnida Sari termasuk dalam kebebasan akademik? Pertanyaannya ini tentunya sangat sulit dijawab, mengingat keberadaan Rosnida Sari yang sekarang misterius. Sampai dengan saat ini, keberadaan Rosnida belum diketetahui secara pasti. Namun menurut informasi yang berkembang, Rosnida Sari tidak memiliki izin dari fakultas untuk membawa mahasiswa ke gereja. 

Fanatisme Masyarakat Aceh

Munculnya berbagai kecaman terhadap Rosnida Sari di Aceh, tidak terlepas dari sejarah dan kultur masyarakat Aceh yang terkenal fanatik terhadap Islam. Bagi sebagian masyarakat Aceh, perbuatan meninggalkan shalat, tidak puasa, membuka aurat dan berjudi, meskipun tetap diakui sebagai maksiat, namun perilaku tersebut tidak sampai memunculkan gejolak sosial di tengah masyarakat dan cenderung “dibiarkan”. Berbeda halnya dengan tindakan “sensitif” seperti mengajarkan “aliran sesat” atau belajar di gereja seperti yang dilakukan Rosnida Sari. Tindakan tersebut akan mendapat respon keras dari masyarakat Aceh.

Kasus Rosnida, jika terjadi di luar Aceh mungkin masih bisa “dimaklumi” oleh sebagian besar masyarakat. Terlebih lagi dalam kajian perbandingan agama, mempelajari kitab-kitab agama lain, semisal Injil dan Taurat sebagai pengetahuan adalah adalah hal yang biasa. Lagi pula, dalam tradisi keilmuan akademis, tidak ada larangan untuk belajar di mana saja. Meminjam istilah Kamaruzzaman Bustamam Ahmad (dosen UIN Ar-Raniry), kita semestinya belajar dari seluruh “penjuru mata angin”. Dalam tradisi keilmuan juga tidak dikenal dikotomi antara Timur dan Barat. Kita tentunya juga sudah mafhum, bahwa di masa lampau, Islam juga pernah berjaya di Barat seperti di Spanyol (Andalusia).

Sumber: nextforsunrise.blogspot.com
Lantas kenapa kasus Rosnida menjadi isu yang begitu hangat di Aceh? Sebagaimana telah diulas sepintas di atas, bahwa masyarakat Aceh memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap Islam. Mengajak mahasiswa untuk belajar di gereja adalah hal yang sangat tabu di Aceh dan dianggap bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Acehan sehingga tindakan tersebut mendapat respon keras dari sebagian besar masyarakat Aceh. Kalau boleh jujur, di Aceh, “menolak” maulid saja bisa dituding “tidak cinta Nabi”, apalagi jika sampai mengajak mahasiswa ke gereja, bisa-bisa label murtad dan kafir akan terpampang gratis di jidat kita. 

Lagi pula, kebebasan akademik yang dimiliki oleh perguruan tinggi dan dosen tidak bersifat absolut dan tetap harus tetap memperhatikan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan negara. Sepakat atau pun tidak, bagi sebagian masyarakat Aceh, melaksanakan proses pembelajaran di gereja adalah menyalahi tradisi keilmuan di Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekkah.

Tragisnya lagi, aksi yang dilakukan oleh Rosnida Sari telah memicu munculnya berbagai tudingan miring terhadap UIN Ar-Raniry. Ada pihak-pihak yang memanfaatkan isu Rosnida untuk melakukan “serangan” kepada UIN Ar-Raniry. Kasus Rosnida telah dijadikan “jembatan” oleh sebagian pihak untuk menyebut UIN-Ar-Raniry sebagai “produsen” paham liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Bahkan ada sebagian pihak yang membuat “propaganda” bahwa ada sebagian orang tua yang tidak lagi mengizinkan anaknya untuk belajar di UIN. Ada pula tudingan yang menyebut bahwa ada beberapa dosen UIN yang terindikasi melakukan pendangkalan akidah di UIN Ar-Raniry. Mungkin ini-lah maksud pepatah lama: “akibat nila setitik, rusak susu sebelanga”. 

Bersikap Adil terhadap Rosnida 

Pada prinsipnya, kita (termasuk penulis), sangat tidak sepakat dengan sekularisme, liberalisme dan pluralisme agama yang merupakan konsep kafir Barat yang berisi teori-teori rapuh dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kita juga tidak sepakat dengan teori yang mempersamakan semua agama dan menyatakan bahwa kita semua (seluruh agama) akan hidup berdampingan di surga. Pluralisme agama adalah konsep yang dibangun oleh orang-orang “kurang tidur”. Jika semua pemeluk agama akan masuk surga, maka sungguh neraka akan kosong. Cuma orang-orang kurang tidur yang sepakat dengan konsep ini. 

Namun demikian, adalah tidak adil jika kita terlalu tergesa-gesa melabelkan stigma liberal, sekuler, plural, sesat, murtad, missionaris, apalagi kafir kepada seseorang hanya karena masuk ke gereja, mempelajari Bibel atau melakukan penelitian di kuil, tanpa didasari oleh bukti yang benar-benar meyakinkan. 

Ilustrasi. Sumber: zahrinalia.wordpress.com
Dalam pandangan penulis, kasus Rosnida Sari harus dilihat secara cermat dan objektif. Tidak perlu berspekulasi berlebihan dan bersikap gegabah dalam menghakimi. Jika proses pembelajaran di gereja yang dilakukan oleh Rosnida ‘hanya’ sekedar untuk mengkaji gender dalam perspektif Kristen, maka kegiatan tersebut masih termasuk dalam lingkup kebebasan akademik, selama kegiatan tersebut mendapat izin resmi dari kampus tempat ia bekerja. Namun demikian, dalam konteks Aceh, agar tidak menyinggung “perasaan” sebagian masyarakat, menurut penulis, lebih elok jika proses pembelajaran tersebut tidak dilakukan di gereja. Apalagi jika mahasiswa yang mengikuti proses pembelajaran tersebut masih “galau” dalam beragama, tentunya kegiatan belajar di gereja – terlebih lagi jika dilakukan secara rutin, akan membuat iman para “belia” tersebut menjadi “goncang”.

Di sisi lain, agenda belajar ke gereja yang dilakukan oleh Rosnida juga perlu ditelusuri lebih lanjut oleh pihak UIN Ar-Raniry, benarkah kegiatan tersebut murni untuk belajar atau justru ada misi lain yang tersembunyi? Kesahihan berita ini menjadi penting untuk diperhatikan oleh pucuk pimpinan UIN untuk kemudian disampaikan kepada publik. Walllahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Harian Waspada Medan


loading...

No comments