Syari’at Islam di Aceh, Antara Semangat dan Kenyataan (Sebuah Harapan Pada Pemimpin Baru)

Oleh: Khairil Miswar
Bireuen, 09 Juni 2012

Khairil Miswar
Foto Tahun 2005
Syariat Islam di Aceh yang pada awalnya merupakan produk politik Jakarta dengan maksud meredamkan bara konflik di Aceh akhirnya dalam perjalanannya telah berevolusi menjadi sebuah kebutuhan yang paling urgen dan sakral bagi rakyat Aceh. Adalah logis jika rakyat Aceh dalam konteks kekinian merindukan penerapan Syariat Islam di bumi Serambi Mekkah ini mengingat romantika sejarah kejayaan Aceh masa lalu tidak terlepas dari kejayaan Islam itu sendiri. Aceh merupakan gerbang satu – satunya yang menjadi pintu utama masuknya agama Islam ke nusantara. 

Dengan lahirnya beberapa qanun seperti qanun tentang maisir, khalwat dan khamar semakin memantapkan semangat orang Aceh untuk menegakkan syariat Islam di “Tanoh Endatu”. 

Pada saat Aceh masih di dera konflik beberapa tahun lalu tersiar kabar bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ketika itu menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap Jakarta menjadikan isu syariat Islam sebagai spirit perjuangan mereka sehingga tanpa sungkan sebagian besar rakyat Aceh kala itu memberi dukungan moril dan materil kepada GAM dalam melakukan perjuangannya tersebut. 

Seingat penulis, dulu sebelum konflik Aceh memuncak (sebelum tahun 1998) khususnya di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh kita dapat menyaksikan berbagai corak pakaian mahasiswi yang notabene melanggar ketentuan syari’at Islam. Busana ketat dan rambut terurai (tanpa jilbab) seolah telah menjadi fenomena yang lazim kala itu. Namun pada saat ketegangan GAM dan Jakarta mencapai puncaknya (tahun 1999 - 2004) pemandangan di Aceh berubah total. Ketika itu, sangat sulit kita menemukan wanita yang tidak menutup aurat, bahkan etnis Tionghua (baca: Cina) pun ikut menggunakan jilbab pada saat hendak keluar rumah. Ketika itu ada ketakutan tersendiri yang tumbuh di benak masyarakat Aceh dan tidak berani memakai busana yang menampakkan aurat. Ketakutan masyarakat pada saat itu dalam pandangan penulis mengandung nilai – nilai positif dan setidaknya nilai – nilai syari’at Islam telah tumbuh kembali meskipun hal tersebut mereka lakukan dengan terpaksa.

Pada tahapan selanjutnya setelah Aceh luluh – lantak diterjang gempa tsunami pada 26 Desember 2004 dan ketika GAM – Jakarta telah melahirkan kesepakatan damai (Memorandum of Understanding) tepatnya pada 15 Agustus 2005 fenomena syari’at Islam di Aceh kembali bergerak mundur[1] meskipun Pemerintah Aceh saat itu (juga dipimpin oleh eks GAM) dengan segenap daya dan upaya telah melakukan langkah – langkah strategis untuk menegakkan syari’at Islam di “Tanah Rencong” ini, namun hasilnya belum juga maksimal jika tidak ingin dikatakan nihil. 

Dalam pandangan penulis, penerapan syari’at Islam yang berjalan di Aceh hari ini masih terbatas pada simbol – simbol dan slogan semata. Masyarakat kita terkesan dibuai oleh romantisme sejarah kejayaan Aceh dan Islam masa lalu dan menjadikan fakta sejarah tersebut sebagai sebuah dongengan yang tak mungkin terulang dalam kehidupan nyata hari ini. Menurut penulis, dingin dan lesunya penerapan syari’at Islam di Aceh disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; 

Pertama, masih kurangnya pemahaman sebagian masyarakat Aceh terhadap keagungan syariat Islam yang merupakan produk Ilahi paling fleksibel dan memuat norma – norma yang relevan dengan setiap zaman. Dengan kurangnya pemahaman tentang syari’at Islam tentunya akan melahirkan paradigma yang keliru terhadap syari’at itu sendiri sehingga pada tahapan kronis akan melahirkan sifat abai (tidak peduli) terhadap kebutuhan kita akan syari’at Islam. Bahkan (mungkin) ada sebagian masyarakat Aceh yang menganggap syari’at Islam sebagai momok mengerikan yang akan merenggut kebebasan mereka dalam berekspresi (khususnya bagi kaum sekularis).

Kedua, kurangnya kesadaran dari sebagian masyarakat Aceh untuk melaksanakan syari’at Islam dan adanya anggapan bahwa masalah agama adalah masalah yang bersifat pribadi (privat). Sikap kedua ini sebenarnya merupakan turunan dari sikap pertama yang sudah penulis uraikan diatas. Masyarakat kita, sebagaimana kita saksikan bersama terlalu pasif dalam memandang pelanggaran syari’at khususnya pelanggaran yang dilakukan oleh keluarganya. Sebagian masyarakat kita nampak membiarkan pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh keluarganya dan menganggap bahwa pelanggaran tersebut adalah hal remeh – temeh yang tidak perlu digubris. 

Ketiga, pihak penguasa dalam hal ini Pemerintah Aceh melalui institusi Dinas Syari’at Islam masih nampak grogi (salah tingkah) dalam menerapkan syari’at Islam di Aceh. Dinas Syari’at Islam terkesan masih memainkan falsafah kuno bahwa pedang hukum itu tajam kebawah dan tumpul keatas. Buktinya penerapan syari’at Islam di Aceh terkesan hanya berlaku untuk masyarakat awam sedangkan masyarakat elit seperti terbebas dari pantauan Dinas Syari’at Islam. Sebagai contoh; pihak Wilayatul Hisbah (WH) terlihat sibuk melakukan ritual sweeping di jalan raya dengan maksud hendak menjaring wanita – wanita yang berbusana non Islami. Namun di waktu yang sama di tempat lain para artis Aceh bebas melakukan syuting dengan aksi melenggak – lenggok pinggul menggunakan pakaian ketat dan tanpa menggunakan jilbab.[2] Sayangnya aksi pelanggaran syari’at yang dilakukan kalangan artis luput dari sorotan WH. Penulis tidak bermaksud melegalkan pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh kalangan awam, namun dalam pandangan penulis aksi pelanggaran syari’at Islam yang dilakukan oleh artis Aceh akan menimbulkan efek yang lebih berbahaya jika dibanding dengan pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh kalangan awam. Aurat para artis Aceh akan terekspose secara luas dalam bentuk VCD sehingga bisa di konsumsi oleh masyarakat umum termasuk masyarakat luar Aceh. 

Ketiga poin yang penulis sebutkan diatas merupakan kendala utama yang terjadi dalam penegakan syari’at Islam di Aceh, namun demikian tidak tertutup kemungkinan ada sebab – sebab lain yang turut mempengaruhi lemahnya penerapan syari’at Islam di “Tanoh Syuhada” ini. 

Dengan terpilihnya Zaini-Muzakkir (mantan GAM) sebagai pemimpin baru pada prosesi pemilukada Aceh Februari lalu kita berharap ada langkah – langkah nyata dari kedua anak manusia ini dalam menegakkan syari’at Islam di Aceh. Dalam tulisan singkat ini dengan tidak bermaksud menggurui ataupun merasa sok pintar, penulis menawarkan beberapa langkah sederhana yang harus dilakukan oleh Zaini-Muzakkir guna memaksimalkan penerapan syari’at Islam di Aceh, diantaranya;

Pertama, Zaini-Muzakkir harus sesegera mungkin melakukan sosialisasi kembali kepada masyarakat luas tentang pentingnya pelaksanaan syari’at Islam di Aceh. Dalam hal ini seluruh perangkat pemerintahan seperti Bupati, Camat, Imum Mukim, Kepala Desa, Imum Desa harus dilibatkan dan di bebankan tanggung jawab untuk memberi pemahaman yang komprehensif kepada seluruh lapisan masyarakat tentang apa dan untuk apa syari’at Islam itu ditegakkan di Aceh. 

Kedua, jika aturan memungkinkan Zaini dan Muzakkir harus melakukan evaluasi terhadap Dinas Syari’at Islam baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten – Kota yang ada di Aceh (teknisnya disesuaikan). Selanjutnya seluruh aparatur pelaksana penegakan Syari’at (WH) juga perlu di evaluasi kembali, khususnya dalam hal perekrutan anggota WH harus lebih selektif. Jangan sampai anggota WH disebut sebagai “Serdadu tak berilmu” karena minimnya pengetahuan mereka tentang agama. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan oleh Zaini – Muzakkir, jangan sampai anggota WH yang seharusnya menegakkan syari’at Islam malah melakukan adegan – adegan hot (baca: asusila) dengan tersangka pelanggar syari’at seperti yang terjadi di Langsa dua tahun lalu.[3] Jika ada personil WH, Kepala Dinas Syari’at Islam, Staf Dinas Syari’at dan juga Hakim ataupun staf peradilan Agama melakukan adegan asusila harus diberi ganjaran dua kali lipat agar citra Pemerintah Aceh tidak rusak dimata masyarakat. Jika perlu Zaini – Muzakkir dan DPRA yang notabene mayoritasnya berasal dari Partai Aceh (mantan GAM) harus segera melahirkan qanun khusus menyangkut pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh aparatur. Hal ini penting untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah Aceh dibawah pimpinan baru Zaini – Muzakkir.

Ketiga, Zaini-Muzakkir harus menghidupkan kembali syari’at shalat berjama’ah lima waktu di seluruh mesjid yang ada di Aceh. Kegiatan ini tentunya harus dipelopori oleh Zaini – Muzakkir sendiri agar rakyat merasa tertarik dan mengikuti langkah – langkah yang dilakukan oleh Zaini – Muzakkir. Sesibuk apapun kegiatan pemerintahan, Zaini – Muzakkir dan seluruh perangkat pemerintahan di segala tingkatan harus menyempatkan diri melakukan shalat berjama’ah di mesjid. Mengingat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam juga seorang kepala negara yang super sibuk, tetapi beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjama’ah kecuali dalam kondisi yang sangat darurat. Demikian juga dengan Khulafa Ar Rasyidun Radhiallahu ' anhum, dalam kehidupannya mereka juga berperan sebagai kepala negara dan pimpinan militer yang memiliki agenda super padat, tetapi ketika tiba waktu shalat mereka tetap melakukan shalat berjama’ah, bahkan dalam kondisi perang sekalipun. Jika kebiasaan ini (baca: shalat berjama’ah) terus dilakukan oleh pemimpin, cepat atau lambat tentulah rakyat akan mengikuti. Hal ini sangat penting mengingat syari’at shalat berjama’ah adalah bagian terpenting dari syari’at Islam. 

Keempat, untuk memantapkan pengetahuan tentang syari’at bagi generasi muda dan remaja, pemimpin baru (Zaini-Muzakkir) harus melakukan langkah – langkah nyata dalam bentuk Islamisasi Lembaga Pendidikan Umum. Jika memungkin kan di STM dan Fakultas Teknik sekalipun harus di ajarkan mata kuliah/pelajaran tauhid, tafsir, hadits, dan materi – materi keagamaan lainnya. Hal ini penting untuk membedakan Sarjana Teknik lulusan Aceh dan Sarjana Teknik lulusan luar Aceh sehingga syi’ar Islam di Aceh akan tetap bercahaya. Selain itu, meminjam istilah Nurcholis Madjid[4] transaksi – transaksi sekular dalam dunia pendidikan di Aceh harus semaksimal mungkin di hilangkan. Yang penulis maksud transaksi sekular adalah kegiatan – kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan di setiap sekolah harus tetap bernafaskan Islam. Logikanya, buat apa kita mengajarkan Aqidah Akhlak kepada para siswa disekolah jika dalam kegiatan ekstrakurikulernya kita justru mengajarkan tarian (khususnya wanita) dengan busana non muslim.[5] Buat apa mereka mendapatkan nilai 9 (sembilan) pada pelajaran Quran – Hadits jika kita membiarkan mereka melenggak – lenggok pinggul dalam latihan tari ataupun drum band? Apakah tidak paradoks? Dalam kondisi ini salahkah jika penulis menyebut pendidikan di Aceh masih berbau sekuler?

Kelima, dalam hal tempat – tempat yang berpotensi terjadinya maksiat seperti kawasan pantai dan tempat – tempat wisata harus segera dibuatkan aturan khusus menyangkut tempat – tempat wisata. Andai mungkin di setiap tempat wisata juga ditempatkan personil WH sebagai pengawas. Menurut penulis solusi ini lebih bijak jika dibanding dengan penutupan tempat wisata secara paksa yang pastinya juga akan melahirkan persoalan baru bagi masyarakat yang mencari penghidupan di lokasi wisata tersebut. Dengan adanya aturan khusus tentang tempat wisata tentunya lokasi wisata akan tetap ramai sehingga kebutuhan ekonomi masyarakat terpenuhi dan dalam kondisi yang sama syari’at Islampun tetap terjaga. Bukankah ini lebih seimbang? 

Keenam, Zaini – Muzakkir sebagai pemimpin baru di “Nanggroe Endatu” melalui aparat WH harus lebih sigap ketika terjadi pelanggaran syari’at di suatu tempat. Setiap pelanggaran syari’at yang dilakukan oleh siapapun tetap harus melalui proses peradilan yang adil di Mahkamah Syari’ah. Dinas Syari’at Islam tidak boleh membiarkan aksi – aksi anarkhis yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok terhadap orang - orang yang melanggar syari’at seperti aksi pemukulan, perusakan harta – benda orang lain, pelecehan dan bahkan pembakaran tempat – tempat yang di duga sarang maksiat.[6] Aksi – aksi seperti ini harus dilarang oleh Dinas Syari’at Islam agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Siapapun mereka harus dicegah agar tidak melakukan kekerasan dalam masyarakat, meskipun mereka (para perusak) mengaku sebagai pembela Islam.

Akhirnya hanya kepada Allah kita berserah diri, semoga saja Zaini – Muzakkir mampu menjalankan amanah kepemimpinan dengan bijak, khususnya dalam penegakan syari’at Islam di Aceh demi terciptanya Aceh yang “Baldatun Thaiyyibatun Wa Rabbun Ghafur”. Wallahu Waliyut Taufiq.

Endnote:

[1]Ziauddin Ahmad, mantan Kepala Dinas Syari’at Islam Aceh dalam sebuah tulisan hasil wawancara yang diposting oleh redaksi Hidayatullah.com yang berjudul “Apa Kabar Syari’at Islam di Aceh” menyebutkan bahwa syari’at Islam di Aceh tidak pernah mundur. Tulisan tersebut dapat di akses melalui http://majalah.hidayatullah.com/?p=900. 

[2]Tentang aksi artis Aceh ini diantaranya lagu dengan judul “Nek Culek Beulangong” dapat di akses melalui http://www.youtube.com/watch?v=9Mz7w3tKXM0, atau lagu “Seunang Hatee” dapat diakses melalui http://www.youtube.com/watch?v=Ym0x6A7V74w, dan masih banyak lagi video – video lainnya yang menurut penulis melanggar ketentuan syariat Islam. 

[3]Tentang aksi ini diantaranya dapat di akses melalui http://news.detik.com/read/2010/01/15/113634/1279122/10/wanita-aceh-diperkosa-bergantian-di-dalam-tahanan-oleh-polisi-syariat 

[4]Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. 4, Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina, 2000), hal, 

[5]Salah satunya adalah Acara Pemilihan Agam dan Inoeng Aceh yang di motori oleh organisasi Lembaga Inong Aceh (LINA) di Kabupaten Bireuen pada tanggal 02 Januari 2011 di Café BengKupi. Dalam acara tersebut penulis menyaksikan gadis – gadis belia (usia sekolah) melenggak – lenggok di atas panggung dengan memakai topi ( tanpa jilbab ) dan memakai baju kaos ukuran ngepas. Fenomena lain yang sempat penulis temui adalah acara perlombaan anak – anak TK yang juga diselenggarakan oleh LINA pada tanggal 13 s/d 14 Februari 2011 di Bengkupi. Di acara tersebut juga diisi dengan adegan – adegan yang tidak Islami seperti acara joget dengan di iringi musik disco yang melibatkan siswa TK. Dalam pandangan penulis aksi – aksi tersebut merupakan salah satu bentuk sekularisasi dalam dunia pendidikan. Tentang fenomena tersebut penulis pernah menulis sebuah artikel bertajuk “Syariat Islam Vs Sekularisme” yang di muat di Harian Aceh edisi 4 Maret 2011. 


Tulisan ini telah diterbitkan dalam buku: Teuku Zulkhairi (ed), Suara Rakyat Aceh: Sebuah Harapan Untuk Pemimpin Aceh, (Banda Aceh: GAMNA, 2012), hal. 19.  
loading...

No comments