Percikan Noda di Sorban

Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 06 Januari 2011

Khatib merupakan isim fa`il (Subjek) dari kata khataba yang berarti mengucapkan atau berbicara (Kamus Marbawi), sedangkan da`i merupakan isim fa`il (subjek) dari kata daa`a yang berarti menyeru atau memanggil (kamus marbawi). Jadi secara bahasa khatib dapat diartikan sebagai Pembicara dan da`i berarti Penyeru atau orang yang mengajak. Dalam konteks agama khatib berarti penceramah atau orang yang memberi khutbah, sedangkan da`i dapat diartikan sebagai pendakwah. Walaupun berbeda secara tekstual tetapi kedua kata ini memiliki makna dan tujuan yang sama.

Menjadi da`i ataupun khatib merupakan perbuatan yang sangat mulia. Khatib (da`i) merupakan lentera yang memberi penerangan bagi umat manusia khususnya umat Islam, khatib bisa juga di umpamakan sebagai penunjuk jalan agar kita semua tidak tersesat dan masih banyak lagi sanjungan – sanjungan mulia lainnya yang dapat kita persembahkan kepada para khatib atas jasa – jasanya. 

Untuk menjadi seorang khatib sebenarnya tidak mudah, dibutuhkan pengalaman dan ilmu Agama yang cukup. Selain dari ilmu ada hal yang sangat penting harus dimiliki oleh seorang khatib yaitu akhlak dan kesopanan dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada umat. Jika ditanya mana lebih penting ilmu atau akhlak? Jawabannya akhlak lebih penting daripada ilmu. Seorang yang berilmu tetapi dia tidak berakhlak dapat dipastikan dia tidak akan disukai oleh orang lain, sedangkan orang yang berakhlak tetapi tidak berilmu akan sangat mudah diterima oleh masyarakat setidaknya mereka menyukai akhlaknya. Bayangkan jika ada da`i atau khatib yang tidak berilmu ( ilmunya kurang ) dan juga tidak berakhlak apa jadinya umat ini?

Ilustrasi Surban. Sumber: tam2fiana.blogdetik.com
Dalam kesempatan ini saya Cuma ingin menyampaikan pesan-pesan ringan untuk para khatib (da`i). Tentunya bukan berarti saya lebih berilmu dan berakhlak dari mereka, tetapi yang menjadi landasan saya adalah sabda Nabi SAW yang mengatakan bahwa “ agama adalah nasehat “. Saling menasehati sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW, dan mengenai dengan persoalan akhlak Nabi SAW juga bersabda “ Sesungguhnya (salah satu sebab) aku diutus kedunia ini adalah untuk memperbaiki akhlak “. Seperti kita ketahui bersama bahwa Rasulullah SAW diutus di tengah – tengah kaum yang sedang mengalami krisis moral dan akhlak yaitu kaum kafir Qurais ( jahiliyah ). Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling mulia akhaknya di muka bumi ini baik dengan keluarga, para shahabat dan juga dengan musuh – musuh Islam. Sehingga satu persatu kaum Quraish memeluk Islam sampai akhirnya Islam tersebar hampir ke seluruh belahan benua. Keberhasilan Rasulullah SAW tentunya tidak terlepas dari kemuliaan akhlak yang ia miliki. 

Kurangnya Ilmu

Pada saat sekarang ini sangat sulit mencari da`i yang mewarisi sifat-sifat dakwah Rasulullah SAW, sifat lemah lembut dan bijaksana dalam menyampaikan ajaran Allah SWT . Menurut pengamatan saya baik dalam kegiatan-kegiatan dakwah ataupun khutbah jumat khususnya di Kabupaten Bireuen saya banyak ( tidak semua ) mendapatkan da`i – da`i yang menurut saya masih sangat kurang dari segi keilmuan dan akhlak. Tentang keterbatasan ilmu mereka dapat kita lihat dari materi yang mereka sampaikan, mereka lebih banyak mengisi pembicaraan dengan cerita-cerita dan humor yang berlebihan hanya untuk menarik simpati pendengar. Sangat sedikit isi Al-Quran dan hadits yang mereka sampaikan. Jika pun ada Cuma satu ayat atau satu hadits yang kemudian mereka tafsirkan sendiri sehingga tidak jarang kadang – kadang keluar dari konteks yang sebenarnya. Ini adalah hal yang sangat fatal. Misalnya pada saat para da`i menceritakan tentang peristiwa isra` mikraj ; mereka membuat dialog-dialog palsu antara sesama buraq (kendaraan yang digunakan nabi) mereka menceritakan bahwa buraq berebutan untuk menjadi tunggangan nabi, sampai-sampai ada buraq yang menangis sedih sehingga akhirnya malaikat memutuskan salah satu dari buraq tersebut menjadi tunggangan Nabi, sehingga buraq tersebut berlompat – lompat kegirangan dan segera menggunakan kosmetik agar tampak cantik ( pakai bedak, lipstik, dll ) seolah-olah buraq adalah gadis cantik yang memperebutkan laki-laki, mendengar cerita ini para pendengar tertawa terbahak-bahak , subhanallah, ini adalah cerita dusta dan palsu. Jika kita tanyakan kepada da`i tersebut kenapa anda bercerita demikian, da`i tersebut akan menjawab ; ini kan Cuma cerita supaya para pendengar merasa tertarik, kan tidak apa-apa karena tujuan kita baik untuk menceritakan peristiwa isra` mi`raj. Subhanallah, masih banyak hadits-hadits shahih yang menceritakan peristiwa isra` mi`raj kenapa harus mamakai cerita palsu dan dusta? 

Demikian juga pada saat para da`i menceritakan tentang zakat, mereka tidak lupa menyisipkan cerita “ Tsa`labah, mereka menggambarkan Tsa`labah sebagai seorang yang sangat miskin sampai – sampai Tsa`labah hanya mempunyai satu sarung untuk shalat, kemudian Rasulullah SAW memberikan satu ekor kambing kepada Tsa`labah sampai akhirnya kambing tersebut menjadi banyak. Diceritakan juga setelah kambing Tsa`labah semakin banyak dia sudah jarang shalat berjamaah, sampai suatu hari Nabi mengutus seseorang untuk menjumpai Tsa`labah guna meminta zakat, tetapi Tsa`labah menolak untuk memberi zakat. Selang beberapa waktu kemudian banyak kambingnya yang mati karena dia mengingkari zakat, pada saat itulah Ts`labah baru insaf hendak membayar zakat kepada Nabi SAW, tetapi Nabi SAW tidak mau menerima zakatnya, kemudian setelah Rasulullah SAW wafat Abu Bakar As Shiddiq Radhiallahu `Anhu juga tidak mau menerima zakat dari Tsa`labah, kemudian Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan Radhiallahu `Anhum juga tidak mau menerima zakatnya . Ini adalah cerita palsu dan dusta yang disandarkan kepada Nabi SAW dan shahabatnya. Padahal Rasulullah telah berpesan untuk tidak mendustakannya dengan berita – berita bohong. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW yang bersumber dari Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu `Anhu dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim Rahimahumullahuta`ala dalam Kitab Shahihnya yang berbunyi “ Janganlah kamu berdusta atas namaku, sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku akan masuk neraka “. Kemudian dari hadits lain yang bersumber dari Abi Hurairah Radhiallahu `Anhu dan juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang berbunyi “ barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka tempatnya di neraka”. Dan masih banyak hadits – hadits lainnya yang melarang berdusta atas nama Rasulullah SAW. Apakah hadits ini tidak cukup untuk menjadi bukti bahwa Rasulullah melarang keras untuk berdusta atas namanya. Rasulullah SAW juga melarang kita untuk menghina sahabat – sahabatnya, maksud menghina bukan Cuma menghujat tetapi juga menisbatkan cerita palsu kepada para shahabat Radhiallahu `Anhum, seperti dalam cerita Tsa`labah dikatakan bahwa Rasulullah SAW dan Abu Bakar tidak mau menerima zakat dari Tsa`labah. Perlu diketahui bahwa Tsa`labah Bin Hathib Al- Anshary adalah seorang shahabat Rasulullah SAW yang ikut dalam perang badar, Allah SWT telah memaafkan dosa orang – orang yang ikut dalam perang badar baik dosa yang telah lalu maupun dosa yang akan datang. Rasulullah SAW juga bersabda : “ Tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut serta dalam perang badar” ( Hadits riwayat Ahmad ). Rasulullah SAW mengharamkan kita untuk menghina para shahabat Radhiallahu `Anhum termasuk Tsa`labah Bin Hathib Al- Anshary sebagaimana sabdanya yang berbunyi : “ Barang siapa mencela Shahabatku maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan manusia “ ( Hadits riwayat Thabrani ), di hadits yang lain yang bersumber dari Abi Sa`id Al Khudri Nabi bersabda : “Janganlah Kalian mencela para SahabatKu. Seandainya salah seorang dari Kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud tidak akan menyamai satu mud infaq salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih Bukhari 5/8 no 3673, Muslim dalam Shahih Muslim 4/1067 no 221 (2540), Sunan Tirmidzi 5/695 no 3861, Sunan Abu Dawud 2/626 no 4658, Sunan Ibnu Majah 1/57

Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat itu lebih baik dari amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh tahun)”. 

Mengenai hadits tentang Tsa`labah yang tidak mau membayar zakat para Ulama hadits telah meneliti hadits tersebut dan mengambil kesimpulan bahwa hadits ini dha`if baik dari segi sanad maupun matannya. Demikian pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al – Asqalani dalam kitabnya Al-Ishaabah fi Tamyiz Ash-Shahabah Juz 1 hal. 198 yang saya kutib dari buku “ Kisah Tsa`labah Dan Al – Qamah “ Penulis Abdul Hakim Bin Amir Abdat, penyunting Tim Darul – Qalam Penerbit Darul Qalam Jakarta cetakan I tahun 1422 H/2002 M. 

Dengan fakta ini semoga saja para da`i segera menghentikan cerita – cerita bohong dan palsu ini.

Berdasarkan fakta – fakta yang saya jumpai dalam beberapa khutbah dan acara dakwah yang saya dengar sendiri saya berkesimpulan bahwa banyak da`i – da`i sekarang khususnya di Bireuen yang tidak menguasai materi yang hendak disampaikannya kepada umat. Apalagi saat ini banyak bermunculan da`i – da`i muda baik dari kalangan pesantren maupun non pesantren ( kampus ) yang hanya ingin mencoba – coba dan mencari popularitas padahal ilmunya masih sangat minim. Subhanallah, apa jadinya umat ini jika para da`i mengabaikan aturan – aturan dalam Al – Quran dan juga mengabaikan sunnah – sunnah Nabi SAW. 

Kurangya Adab / Akhlaq

Selain kurangnya ilmu agama, saya juga sering mendapati para da`i dan khatib yang bersikap kasar dan tidak sopan dalam menyampaikan dakwahnya. Ini adalah fakta yang saya saksikan sendiri khususnya di desa saya sendiri ( desa Cot Bada Peusangan, Bireuen). Yang menjadi tujuan saya mengangkat fakta ini ke permukaan bukanlah untuk menghina para khatib ataupun da`i tetapi dalam rangka mengamalkan pesan Nabi SAW untuk saling menasehati, saya berharap agar tulisan saya ini tidak disalahfami oleh para da`i. Seperti saya sebutkan diatas bahwa saya banyak menjumpai para da`i yang berkata – kata kasar dan tidak sopan saat menyampaikan dakwah ( khutbah ). Jika kita tanyakan kepada mereka kenapa harus berkata kasar? Mereka akan menjawab ; menyampaikan dakwah itu harus tegas! . Rupanya mereka salah mengartikan makna dari kata tegas, yang dimaksud dengan tegas adalah langsung pada inti persoalan dan menyampaikan yang sebenarnya tanpa bertele – tele. Tegas bukan berarti memaki dan mencaci dengan kata – kata kotor seperti kata “ kaplat “ ( dalam bahasa Indonesia berarti Bangsat ). Tegas juga bukan berarti keras dengan cara menunjuk hidung orang lain. Allah SWT berfirman : “ Serulah kepada jalan Tuhanmu ( agama ) dengan bijaksana dan nasehat yang baik “. Semoga ini menjadi perhatian para khatib dan da`i dalam menyampaikan agama Allah SWT jangan sampai mengotori Islam itu sendiri dengan cara – cara jahiliyah yang tidak beradab. Wallahu A`lam.

Saling Menghujat Sesama Da`i

Ini adalah perilaku paling fatal yang sering saya temui baik di desa maupun dikota. Saling hujat antar khatib dan da`i dengan prinsip saling membenarkan pendapat masing – masing. “Ini merupakan fenomena klasik yang masih tumbuh subur sampai sekarang, hujat menghujat dan hina menghina antar sesama. Padahal keduanya penyeru agama Allah SWT tetapi bisa terjebak dalam perilaku – perilaku syaithan dan perilaku para pendeta Nasrani yang saling berebut massa untuk memperkuat posisi masing – masing yang justru akhirnya melahirkan pepecahan dalam masyarakat”. Seharusnya para da`i dan khatib menjadi media pemersatu umat bukannya membuat umat menjadi berpecah – belah. Khususnya pada saat khutbah jumat saya banyak menjumpai khatib menghina khatib lain dan tidak jarang yang sampai menyebut nama dengan mengatakan bahwa mereka telah keluar dari barisan Ahlussunnah dan telah merusak agama dari dalam. Perilaku ini dilarang keras oleh Nabi SAW. Pernah suatu ketika para shahabat Radhiallahu `Anhum berdebat tentang suatu perkara, kemudian Nabi SAW keluar dengan wajah yang merah ( marah ), Nabi SAW bersabda kepada para shahabat ; “ sesungguhnya perilaku seperti ini ( berdebat ) telah menghancurkan umat – umat sebelum kalian “. Wallahua`a`lam.

Permohonan maaf

Demikianlah sedikit catatan yang coba saya uraikan kepada para da`i dan khatib semoga menjadi bahan renungan dan bukan untuk diperdebatkan. Saya mohon maaf apabila bahasa saya melukai perasaan para da`i dan khatib. Saya bukannya sok tau dan juga bukan berarti saya membenci para da`i tetapi dalam rangka menjalankan amanah Rasulullah SAW untuk saling menasehati. Dan perlu saya pertegas bahwa saya tidak menuduh semua da`i seperti itu, tetapi ini adalah hasil temuan saya dibeberapa tempat termasuk di desa saya. Jika ada kesalahan dan kesilapan saya mohon diperbanyak maaf. Akhirnya hanya kepada Allahlah kita semua akan kembali.

Artikel ini sudah dimuat di Harian Aceh


loading...

No comments