Komparasi Pemikiran Abu Hasan Al-Asy'ari dan Sirajuddin Abbas tentang Konsep Istiwa

Oleh: Khairil Miswar

Makalah
Agustus, 2014
KATA PENGANTAR


K.H. Sirajuddin Abbas


Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan seru sekalian alam yang telah memberikan nikmat dan karuni-Nya kepada kita semua. Selawat dan salam kita sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw dan juga kepada para sahabat dan ahlul bait beliau sekalian.

Makalah ini berjudul Komparasi Pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Sirajuddin Abbas tentang Konsep Istiwa. Alhamdulillah berkat rahmat Allah Swt, penulis mampu menyelesaikan makalah ini dalam waktu yang tidak lama. Adapun tujuan dan maksud penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu persyaratan untuk mendaftar di Program Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry pada Program Studi Magister Ilmu Agama Islam, konsentrasi Pemikiran dalam Islam.

Semoga saja makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Sebagai manusia biasa, tentunya makalah ini tidak terlepas dari kesalahan dan kekeliruan. Dengan demikian diharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak untuk kesempurnaan ke depannya.


Bireuen, 22 Juni 2014

Penulis,



Khairil Miswar, S. Pd.I


A. Pendahuluan 

1. Latar Belakang Masalah 

Alquran sebagai kitab samawi terakhir yang diturunkan kepada insan terpilih, Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam, memuat berbagai konsep yang menjadi referensi tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga bagi umat manusia pada umumnya. Alquran yang diturunkan 14 abad yang lalu masih tetap utuh dan terjaga keasliannya sampai dengan detik ini. Hal ini sebagaimana telah dijanjikan sendiri oleh sang pemilik syari’at bahwa ke-otentikan Alquran telah dijamin oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa dalam Alquran terdapat ayat-ayat Muhkamat dan ayat-ayat Mutasyabihat. Di antara ayat-ayat Alquran yang tergolong ke dalam ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat tentang istiwa, di mana telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama terkait dengan ayat tersebut, khususnya di kalangan ulama khalaf. Perbedaan penafsiran tentang ayat istiwa tidak hanya menjadi bahan diskusi dalam lingkungan ilmiah, tetapi lebih tragis lagi telah melahirkan pertentangan hebat di antara ahli ilmu, di mana masing-masing pihak bersikukuh kepada pendapatnya sendiri dan menyalahkan pendapat lain. Kecuali itu, perbedaan pemahaman tentang istiwa bahkan telah mengakibatkan masing-masing pihak “mengkafirkan” satu sama lain. 

Dari berbagai literatur dapat diketahui bahwa telah berkembang dua model pemikiran terkait dengan ayat istiwa. Pemikiran pertama digagas oleh ulama salaf yang menyatakan bahwa ayat tentang istiwa dan yang serumpun dengan ayat tersebut, seperti ayat tentang tangan, muka dan mata Tuhan, makna hakikinya harus diserahkan kepada Allah, sedangkan kita harus menerima keberadaan ayat-ayat tersebut sebagaimana didatangkan, tanpa melakukan takwil. Sementara itu, pemikiran kedua yang dimunculkan oleh kalangan khalaf, menyatakan bahwa ayat-ayat sebagaimana telah disebut di atas harus ditakwilkan maknanya guna menghindari penyerupaan Allah dengan makhluk. 

Sirajuddin Abbas, seorang tokoh agama asal Sumatera Barat yang oleh sebagian pihak dianggap sebagai salah seorang ulama yang otoritatif, dalam buku-bukunya dengan tegas menyatakan bahwa ayat-ayat tentang istiwa dan yang semisal dengannya harus ditakwilkan maknanya. Tidak hanya itu, Abbas juga menuding pihak yang anti takwil sebagai Musyabbihah.[1] Pada prinsipnya, pemikiran yang diutarakan oleh Sirajuddin Abbas adalah sah-sah saja jika pemikiran tersebut relevan dengan dalil-dalil yang ada dan juga didukung oleh pendapat-pendapat mu’tabar. Namun demikian penyebutan Musyabbihah oleh Sirajuddin Abbas kepada para ulama yang tidak melakukan takwil semisal Ibnu Taimiyah[2] adalah sesuatu yang berlebihan. 

Dalam berbagai bukunya, Sirajuddin Abbas secara tegas menyatakan bahwa dalam persoalan tauhid kita mesti merujuk kepada pendapat-pendapat yang disampaikan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, karena menurut Abbas, kedua Imam tersebut adalah imamnya Ahlussunnah Waljama’ah. Dalam buku-bukunya Abbas juga mempertegas bahwa yang dimaksud dengan Ahlussunnah Waljama’ah adalah para pengikut Asy’ariyah dan Maturidiyah. 

Namun demikian, berdasarkan hasil kajian “sederhana” yang penulis lakukan, penulis menemukan sesuatu yang paradoks dalam pemikiran Sirajuddin Abbas, di mana di satu sisi dia (Sirajuddin Abbas) menyatakan bahwa Imam Abu Hasan Al-Asy’ari adalah “konseptor” Ahlussunnah Waljama’ah, namun di sisi lain, pendapat yang disampaikan oleh Sirajuddin Abbas dalam bukunya justru bertolak belakang dengan “fatwa-fatwa” yang dituliskan oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam kitab Al- Ibanah ‘An Ushuli Al Diyanah. 

Di Indonesia sendiri, buku-buku karangan Sirajuddin Abbas sudah menjadi semacam “kitab suci” yang “haram” dikritik. Di samping itu, sebagian besar masyarakat muslim Indonesia juga telah “mensakralkan” berbagai pendapat yang pernah dikemukakan oleh Sirajuddin Abbas. Bahkan tragisnya lagi, berbagai “fatwa” yang pernah dilontarkan oleh Sirajuddin Abbas oleh sebagian pihak dianggap sebagai representasi dari pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari. 

Terkait dengan konsep istiwa, terdapat perbedaan mencolok dan bahkan kontradiktif antara pemikiran Sirajuddin Abbas dan Abu Hasan Al-Asy’ari. Abu Hasan Al-Asy’ari menentang penakwilan ayat istiwa, sedangkan Sirajuddin Abbas justru “mewajibkan” takwil. Ironisnya lagi Sirajuddin Abbas menyebut golongan anti takwil sebagai Musyabbihah yang telah keluar dari Ahlussunnah Waljama’ah. Hebatnya lagi, Sirajuddin Abbas menyandarkan pendapatnya tersebut kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari. Untuk menjawab “kesimpangsiuran” ini diperlukan kajian mendalam guna mendapat jawaban ilmiah-objektif dengan merujuk kepada kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang oleh Sirajuddin Abbas disebut sebagai “konseptor” Ahlussunnah Waljama’ah 

Berdasarkan uraian singkat di atas, dalam makalah ini penulis tertarik untuk melakukan kajian lebih lanjut terkait dengan pemikiran Sirajuddin Abbas dan Abu Hasan Al-Asy’ari tentang konsep istiwa. Memang “tak selayaknya” kedua tokoh tersebut disandingkan disebabkan oleh ilmu dan derajat “kealiman” yang berbeda jauh antara keduanya, di mana Abu Hasan Al-Asy’ari adalah seorang ulama besar yang keilmuannya melebihi dan bahkan melampaui Sirajuddin Abbas. Makalah ini bertujuan untuk mencari kesesuaian atau pun ketidaksesuaian pemikiran Sirajuddin Abbas dan Abu Hasan Al-Asy’ri, khususnya terkait konsep istiwa dalam makalah yang berjudul “Komparasi Pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Sirajuddin Abbas tentang Konsep Istiwa”. 

2. Rumusan Masalah 

Agar pembahasan dalam makalah ini lebih mengerucut dan tidak keluar dari maksud awal sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang masalah, maka penting kiranya penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut: 

a. Bagaimana konsep istiwa menurut Sirajuddin Abbas? 

b. Bagaimana konsep istiwa menurut Abu Hasan Al-Asy’ari? 

3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui tentang: 

a. Konsep istiwa menurut Sirajuddin Abbas 

b. Konsep istiwa menurut Abu Hasan Al-Asy’ari 

Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 

a. Secara teoritis; hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penulis dan juga bahan masukan bagi pihak lain untuk mengetahui perbedaan pemikiran Sirajuddin Abbas dan Abu Hasan Al-Asy’ari tentang konsep istiwa. 

b. Secara praktis; hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai materi awal dalam melakukan kajian selanjutnya tentang konsep istiwa. 

4. Metodologi Penelitian 

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan survei literatur dan dianalisis menggunakan analisis isi (content analysis). 

5. Sumber Data 

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu: sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah buku dan kitab yang ditulis langsung oleh Sirajuddin Abbas dan Abu Hasan Al-Asy’ari. Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber data tambahan sebagai bahan perbandingan dalam melakukan kajian tentang objek yang diteliti. 

B. Biografi Abu Hasan Al-Asy’ari 

Nama lengkap Abu Hasan Al-Asy’ari adalah Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdullah bin Musa bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari.[3] Dia lahir di Bashrah pada tahun 260 H[4] dan wafat di kota yang sama pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun.[5] Abu Hasan Al-Asy’ari adalah keturunan sahabat Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam.[6]

Dalam belajar agama, Abu Hasan Al-Asy’ari pertama sekali berguru tentang ilmu kalam kepada Abu Ali Al-Jubai-i yang merupakan salah satu tokoh terkemuka dari Mazhab Mu’tazilah.[7] Selain ilmu kalam, Abu Hasan Al-Asy’ari juga belajar hadits dari beberapa ulama besar, di antaranya: Al-Hafizh Zakaria bin Yahya As- Saajy, Abi Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya’kub Al-Muqry dan Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashry.[8]

Abu Hasan Al-Asy’ari menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun sehingga dia benar-benar memahami pemikiran-pemikiran yang dianut oleh Mu’tazilah. Setelah 40 tahun menjadi pengikut Mu’tazilah, kemudian dia menyatakan bertaubat dari Mu’tazilah karena banyak pemikiran-pemikiran Mu’tazilah yang tidak sesuai dengan pikirannya. 

Menurut Harun Nasution, Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu‘tazilah pada saat golongan tersebut sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Hal ini terjadi setelah Khalifah Al-Mutawakkil menghapuskan paham Mu‘tazilah sebagai mazhab negara. Ketika itu paham Mu‘tazilah semakin lemah dan ditinggalkan oleh pengikut-pengikutnya. Pada situasi seperti inilah Abu Hasan Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu‘tazilah dan merumuskan paham baru yang dinamai dengan namanya sendiri, yaitu paham Asy‘ariyah.[9] Di antara kitab yang pernah ditulis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari adalah kitab Al-Ibanah ‘an Ushuli al-Diyanah yang memuat pokok-pokok pikiran Asy’ari tentang teologi. 

C. Biografi Sirajuddin Abbas 

Sirajuddin Abbas dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1905 di Bengkawas, Bukittinggi (Sumatera Barat). Dia adalah putra seorang ulama besar di kawasan itu, Syekh Haji Abbas Qadli yang lebih dikenal dengan Syekh Abbas Ladang Lawas. Sirajuddin Abbas belajar agama untuk pertama kali kepada ayahnya sendiri. Kemudian dia meneruskan belajar kepada ulama-ulama lain yang ada di kawasan Minangkabau. Sirajuddin Abbas oleh sebagian pihak dianggap sebagai salah seorang ulama bermazhab Syafi’iyah.[10]

Pada tahun 1927 Sirajuddin Abbas belajar kepada beberapa ulama di Masjidil Haram seperti : Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii), Syekh Husen Al-Hanafi (mufti mazhab Hanafi), Syekh Ali Al-Maliki (mufti mazhab maliki), dan Syekh Umar Hamdan.[11]

Dalam masalah fiqih, Sirajuddin Abbas banyak menyandarkan pendapatnya kepada mazhab Syafi’iyah, sedangkan dalam hal aqidah, sebagaimana telah dikemukakan di awal makalah ini, Sirajuddin Abbas menisbatkan aqidahnya kepada konsep Tauhid yang dipegang oleh Abu Hasan Al-Asy’ari. 

Selain itu Sirajuddin Abbas dikenal sebagai salah seorang penulis yang produktif, di antara buku-bukunya yang masih dicetak sampai hari ini adalah: I’tiqad Ahlussunah Waljama’ah dan buku 40 Masalah Agama jilid 1-4. Dia juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang paling gencar memperjuangkan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan mazhab Syafi’i di Indonesia. 

D. Istiwa dalam Alquran 

1. Ayat-ayat Istiwa 

Di antara ayat-ayat istiwa yang terdapat dalam Alquran adalah sebagai berikut: 

a. Al-A’raf ayat 54: 



žcÎ) ãNä3­/u‘ ª!$# “Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur ’Îû Ïp­GÅ™ 5Q$­ƒr& §NèO 3“uqtGó™$# ’n?tã ĸóyêø9$# (الاعراف:54) 

Artinya: 



b. Thaha ayat 4-5: 

WxƒÍ”\s? ô`£JÏiB t,n=y{ uÚö‘F{$# ÏNºuq»uK¡¡9$#ur ’n?ãèø9$# ÇÈ ß`»oH÷q§9$# ’n?tã ĸöyèø9$# 3“uqtGó™$# 

(طه: 4-5) 

Artinya: 



c. Al-Furqan ayat 58: 

“Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tBur $yJßguZ÷t/ ’Îû Ïp­GÅ™ 5Q$­ƒr& ¢OèO 3“uqtGó™$# ’n?tã ĸöyèø9$# 4 ß`»yJôm§9$# ö@t«ó¡sù ¾ÏmÎ/ #ZŽÎ6yz (الفرقان: 59) 

Artinya: 





2. Pandangan Ulama tentang Istiwa 

Kalimat istiwa yang terdapat dalam Alquran telah menimbulkan perbedaan penafsiran antar ulama. Dari berbagai referensi dapat diketahui bahwa ulama khalaf seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Malik bin Anas dan sejumlah ulama lainnya secara tegas menyatakan bahwa ayat-ayat istiwa dan ayat lain yang sejenisnya harus diterima sebagaimana adanya tanpa dilakukan takwil. 

Di antara ulama dari kalangan salaf yang berpendapat bahwa ayat tentang Allah ber-istiwa di atas ‘Arasy harus diterima sebagaimana adanya adalah Imam Malik bin Anas. Dalam kitabnya, Al-Baihaqi sebagaimana dikutip oleh Az-Zahabi mengemukakan bahwa Malik bin Anas pernah ditanyai tentang makna istiwa dalam Alquran. Jawaban Malik bin Anas adalah sebagai berikut: 

الكيف غير معقولو والاستواء غير مجهول والايمان به واجب والسؤال عنه بدعة...[12]

Dari jawaban yang diberikan oleh Malik bin Anas tersebut dapat dipahami bahwa istiwa adalah sebuah istilah yang sudah dikenal (bukan istilah asing), sedangkan hakikat dari istiwa itu sendiri tidak diketahui, namun beriman kepada istiwa Allah hukumnya wajib, sedangkan bertanya tentang istiwa itu adalah bid’ah dan dilarang. 

Pendapat bahwa ayat-ayat istiwa dan yang serumpun dengannya tidak boleh ditakwilkan maknanya juga dipegang oleh ulama salaf yang lain seperti Ibnu Mubarak, Abu Ja’far At-Tirmidzi dan juga Abu Hasan Al-Asy’ari. 

Adapun penakwilan terhadap ayat-ayat istiwa pertama sekali dilakukan oleh golongan Mu’tazilah. Abu Ramlah Muhammad dalam risalahnya mengemukakan bahwa para imam kaum muslimin (ulama salaf) tidak pernah memperdebatkan ayat-ayat yang membicarakan sifat-sifat Allah dan mereka menetapkan sifat-sifat sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbincangan tentang sifat-sifat Allah berkembang di dunia Islam pada saat setelah diterjemahkannya kitab-kitab Yunani dan masuknya filsafat ke dunia Islam.[13] Masuknya kita-kitab Yunani tersebut terjadi pada masa Daulah Abbasiyah yang di kemudian hari melahirkan aliran Mu’tazilah yang dipelopori oleh Washil bin Atha’. 

Harun Nasution mengemukakan bahwa salah satu ajaran yang dikembangkan oleh Mu’tazilah adalah penafian terhadap sifat-sifat Allah. Menurut mereka, Allah tidak mempunyai sifat dan hanya memiliki esensi.[14] ‘Abd Al-Jabbar sebagaimana dikutip oleh Nasution menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus ditakwilkan. Kata al-‘Arasy (tahta kerajaan) diartikan sebagai kekuasaan, al-‘Ain (mata) diartikan sebagai pengetahuan, al-yad diartikan sebagai kekuasaan, dan lain sebagainya.[15]

Dari uraian singkat di atas dapat dipahami bahwa penakwilan terhadap ayat-ayat istiwa dan yang serumpun dengannya dipelopori oleh kaum Mu’tazilah yang telah terpengaruh dengan pola pikir Yunani. Sedangkan ulama salaf tidak pernah melakukan penakwilan dan menerima keberadaan ayat tersebut sebagaimana datang dari Allah tanpa memperbincangkanya. 

E. Istiwa Menurut Abu Hasan Al-Asy’ari dan Sirajuddin Abbas 

1. Istiwa Menurut Abu Hasan Al-Asy’ari 

Abu Hasan Al-Asy’ari adalah pelopor paham Asy’ariyah yang dalam pembahasan teoligi digolongkan ke dalam kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagaimana telah diuraikan secara singkat di atas bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari pada awalnya bermazhab Mu’tazilah selama 40 tahun. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, pada usia 40 tahun Abu Hasan Al-Asy’ari menyatakan bertaubat dan meninggalkan mazhab Mu’tazilah. Kemudian dia beralih kepada mazhab Ahmad bin Hanbal (Ahlussunnah wal Jama’ah) dan merumuskan keyakinannya yang di kemudian hari dikenal dengan paham Asy’ariyah. 

Kitab Al Ibanah. Foto: mahaja.com
Di antara kitab yang pernah ditulis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari adalah Al Ibanah ‘an Ushuli Ad Diyanah yang berisi pokok-pokok pikirannya tentang tauhid. Tentang ayat istiwa, sebagaimana ulama salaf lainnya, Abu Hasan Al-Asy’ari juga bersikukuh bahwa ayat tersebut harus di-imani sebagaimana adanya dan tidak boleh ditakwilkan ataupun dipalingkan maknanya. Dalam Al-Ibanah, Abu Hasan menulis: 

وإن الله استوى على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وإن له وجها كما قال (ويبقى وجه ربك ذوالجلال والإكرام) وإن له يدين كما قال (خلقت بيدى)...[16]

Dari penjelasan yang diutarakan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dalam kitabnya tersebut dapat dipahami bahwa Abu Hasan tidak melakukan takwil terhadap ayat tersebut dan beliau menyandarkan perkataannya langsung kepada ayat Alquran tanpa memberikan penafsiran yang berlebihan. Dari kutipan di atas juga dapat dilihat bahwa Abu Hasan tidak memalingkan makna istiwa, yadun dan wajh kepada makna lain sebagaimana dilakukan oleh Mu’tazilah. 

Dalam kitabnya, Abu Hasan juga menulis: 

ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم إذ دعوا نحو السماء, لأن الله عز وجل مستو على العرش الذى هو فوق السموات فلو لا أن الله عز وجل على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش كما لا يحطونها إذا دعو الى الأرض.[17]


Dari kutipan di atas Abu Hasan Al-Ays’ari kembali menegaskan bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arays yang berada di atas langit. Menurut Abu Hasan Al-Asy’ari, seandainya Allah tidak ber-istiwa di atas ‘Arays ( di atas langit) tentunya kaum muslimin tidak mengangkat tangannya ke atas ketika berdoa. 

Berdasarkan uraian singkat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa Abu Hasan Al-Asy’ari sebagaimana ulama salaf lainnya berkeyakinan bahwa Allah ber-istiwa di atas ‘Arasy. Abu Hasan Al-Asy’ari juga tidak menakwilkan awat istiwa dan tidak pula menjelaskan bagaimana kaifiyat dan hakikat dari istiwa tersebut karena yang mengetahui hakikat istiwa hanya Allah semata, sedangkan kita cuma diperintahkan untuk mengimani saja. 

2. Istiwa Menurut Sirajuddin Abbas 

Dalam buku “I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah, Sirajuddin Abbas mengemukakan bahwa ayat-ayat tentang istiwa dan yang serumpun dengannya (Allah memiliki muka, tangan, mata, dan lain-lain) harus ditakwilkan dan ditafsirkan secara majazi. Ayat yang mengatakan bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arasy maksudnya adalah bahwa Allah menguasai ‘Arasy dan tidak bisa diartikan menurut asal perkataan dari ayat tersebut. Menurut Sirajuddin Abbas, hal ini penting diperhatikan agar kita tidak termasuk ke dalam golongan Musyabbihah dan Mujassimah.[18] Namun di bagian akhir bukunya tersebut, Sirajuddin Abbas mengakui bahwa ulama salaf tidak melakukan takwil tentang ayat istiwa dan menyerahkan makna hakiki kepada Allah, sedangkan ulama khalaf mentakwilkan perkataan istiwa dengan istaula, yaitu menguasai atau memerintah.[19] Uniknya lagi, di halaman lain dari bukunya tersebut, Sirajuddin Abbas justru menyatakan bahwa ulama salaf dan khalaf sama-sama melakukan takwil terhadap ayat mutasyabihat.[20]

Buku Sirajuddin Abbas. Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Dalam buku 40 Masalah Agama jilid 4, Sirajuddin Abbas menegaskan bahwa ulama salaf mentakwilkan ayat istiwa dengan takwil “ijmali”, yaitu takwil secara umum tanpa menerangkan takwilnya, sedangkan ulama khalaf menakwilkan secara “tafsili”, yaitu takwil secara terperinci. Menurut Sirajuddin Abbas, yang berhak melakukan takwil adalah: Alquran, Nabi Muhammad, para sahabat dan para tabi’in.[21] Namun sayang dalam bukunya tersebut Sirajuddin Abbas tidak mencantumkan contoh takwil yang dilakukan oleh Nabi, Sahabat dan Tabi’in terkait ayat-ayat istiwa. 

Sirajuddin Abbas menyatakan bahwa jika kata istawa diartikan sebagaimana adanya, maka akan timbul kekacauan faham dan kesalahan i’tiqad yang gawat. Dia mengatakan bahwa jika seserang beristiwa di atas suatu benda, umpamanya di atas kursi, maka yang pasti bahwa kursi tersebut lebih besar dari orang yang duduk. Sirajuddin juga mempertanyakan apakah “Arasy itu lebih besar dari Tuhan?[22]

Dalam bukunya tersebut Sirajuddin Abbas juga mempertentangkan antara ayat ke-5 surat Thaha (Allah beristiwa di atas ‘Arasy) dengan ayat 40 surat At-Taubah (sesungguhnya Tuhan bersama kita) yang menceritakan tentang keadaan Nabi ketika berada dalam gua. Sirajuddin Abbas mengatakan bahwa jika kata istawa diartikan secara harfiyah, maka jadilah Tuhan itu dua, yang satu beristiwa di atas ‘Arasy dan (Tuhan) yang satu lagi masuk ke dalam gua bersama Nabi.[23]

Buku Sirajuddin Abbas. Foto: Koleksi Pribadi Penulis
Sirajuddin Abbas menyatakan bahwa dalam mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah ayat-ayat mutasyabihat harus ditakwilkan. Dia juga menegaskan bahwa mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah itu adalah suatu mazhab dalam i’tiqad yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari.[24]

3. Komparasi Pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Sirajuddin Abbas Tentang Istiwa 

Setelah menyimak sajian pemikiran kedua tokoh di atas, Abu Hasan Al-Asy’ari dan Sirajuddin Abbas, dapat diketahui bahwa kedua tokoh tersebut memiliki pola pikir yang berbeda dan bahkan saling bertentangan. Abu Hasan Al-Asy’ari sebagai seorang ulama yang merumuskan pokok-pokok pemikiran tauhid yang di kemudian hari dikenal dengan mazhab Asy’ariyah dalam kitab Al-Ibanah terlihat dengan jelas dan terang bahwa dia tidak menakwilkan ayat-ayat istiwa dan ayat yang serumpun dengannya dan tidak pula menafsirkan. Abu Hasan Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah beristiwa di atas ‘Arasy dan menyandarkan pendapatnya langsung kepada ayat yang bersangkutan tanpa memberi penjelasan panjang lebar. Abu Hasan Al-Asy’ari juga menegaskan ketika berdoa kaum muslimin mengangkat tangannya ke atas yang menandakan bahwa Allah di atas langit. Apa yang ditulis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dalam kitabnya senada dengan pernyataan yang pernah disampaikan oleh Imam Malik, bahwa kata istawa itu sudah dimaklumi (dikenal) maknanya, tetapi kaifiyat dan caranya tidak kita ketahui. Imam Malik juga melarang kita untuk bertanya secara berlebihan tentang istawa karena hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah dan sebagai muslim kita hanya diperintahkan untuk mengimani saja tanpa menakwilkan makna tersebut kepada makna lain. 

Adapun Sirajuddin Abbas, meskipun hampir dalam seluruh bukunya dia menyandarkan pendapatnya (dalam bidang tauhid) kepada Abu Hasan Al-Asy’ari, namun pendapat yang disajikan oleh Sirajuddin Abbas dalam bukunya bertolak belakang dengan paham Abu Hasan Al-Asy’ari yang tertulis dalam kita Al-Ibanah. Anehnya lagi, Sirajuddin Abbas menyatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebuah paham yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari dan menurut Sirajuddin Abbas, ulama Ahlussunnah wal Jama’ah menakwilkan ayat istiwa. Tapi ternyata Abu Hasan Al-Asy’ari yang oleh Sirajuddin Abbas disebut sebagai imam-nya Ahlussunnah wal Jama’ah justru tidak menakwilkan ayat tersebut. Ironisnya lagi, dalam buku-bukunya, Sirajuddin Abbas tidak pernah mengutip pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari yang terdapat dalam kitab Al-Ibanah. 

Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Sirajuddin Abbas pada prinsipnya bukanlah pengikut Abu Hasan Al-Asy’ari dan pemikiran Sirajuddin Abbas tentang ayat istiwa justru lebih dekat kepada pemahaman Mu’tazilah yang menakwilkan ayat-ayat istiwa dan ayat lain yang serumpun dengannya. 

Menurut penulis, berdasarkan penjelasan yang ditulis oleh Abu Hasan Al-Asy’ari ditambah dengan pernyataan Imam Malik dan juga pendapat ulama-ulama salaf lainnya, maka sikap kita terhadap ayat istiwa adalah mengimani sebagaimana ayat itu didatangkan dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah tanpa melakukan takwil dan tidak pula mempertanyakan kaifiyatnya serta meyakini bahwa tiada suatu apapun yang serupa dengan Allah sesuai ayat “laisa kamislihi syaiun”. 

F. Kesimpulan 

Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara objetif, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 

1. Abu Hasan Al-Asy’ari mengimani ayat-ayat istiwa sebagaimana adanya dengan tidak melakukan takwil dan tidak pula mempersamakan Allah dengan makhluk. 

2. Sirajuddin Abbas menyatakan bahwa ayat istiwa harus ditakwilkan maknanya dan menyandarkan pendapatnya kepada Abu Hasan Al-Asy’ari. 

3. Pendapat Sirajuddin Abbas tidak sesuai dan bertentangan dengan pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari serta lebih dekat kepada pendapat Mu’tazilah. 

G. Daftar Pustaka 

Abu Hasan Al-Asy’ari, Al Ibanah Buku Putih Imam Al-Asy’ari, cet. 5, terj. Abu 

Ihsan Al-Atsari, Solo: At-Tibyan, 2010 

Al Imam Asy-Syaikh Abi Hasan ‘Ali bin Ismail bin Abdillah bin Abi Musa Al 

Asy’ari, Al Ibanah ‘an Ushuli ad-Diyanah, Beirut: Daaru Ibn Zaidun, t.t 

Abu Ramlah Muhammad Al-Manshur, Istiwa Allah ‘Alal ‘Arsyi, t.tp: tp, tt 

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Ustman bin Qaimaz Az-Zahabim, Al 

‘Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar, Beirut: Darul Imam, 1428 H 

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, cet.5, 

Jakarta: UI Press, 1986 

Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1998 

Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, cet. 8, Jakarta: Pustaka 

Tarbiyah Baru, 2008 

, 40 Masalah Agama Jilid 4, cet. 8, Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 

2009 

Internet 

Habib Ahmad, Biografi KH. Sirajuddin Abbas (1905-1980), artikel diakses pada tanggal 21 Juni 2014 dari http://pondokhabib.wordpress.com/2011/02/24/biografi-kh-sirajuddin-abbas-1905-1980/. 

Mursyid A. Rahman Ali, Profil KH. Sirajuddin Abbas, artikel diakses pada tanggal 21 Juni 2014 dari http://mursyidali.blogspot.com/2009/12/profil-khsirajuddin-abbas.html. 

Endnote:


[1]Musyabbihah adalah sebuah golongan (firqah) yang menyamakan Allah dengan makhluk. 
[2]Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah, 
[3]Abu Hasan Al-Asy’ari, Al Ibanah Buku Putih Imam Al-Asy’ari, cet. 5, terj. Abu Ihsan Al-Atsari, (Solo: At-Tibyan, 2010), hal. 2. 
[4]Muhammad Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hal. 176. 
[5]Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah, cet. 8 (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hal. 3. 
[6]Ahmad, Tauhid-Ilmu Kalam, hal. 179. 
[7]Ibid. 
[8]Al-Asy’ari, Al Ibanah Buku Putih…, hal. 2. 
[9]Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, cet.5 (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 68-69. 
[10]Habib Ahmad, Biografi KH. Sirajuddin Abbas (1905-1980), artikel diakses pada tanggal 21 Juni 2014 dari http://pondokhabib.wordpress.com/2011/02/24/biografi-kh-sirajuddin-abbas-1905-1980/. 
[11]Mursyid A. Rahman Ali, Profil KH. Sirajuddin Abbas, artikel diakses pada tanggal 21 Juni 2014 dari http://mursyidali.blogspot.com/2009/12/profil-khsirajuddin-abbas.html. 
[12]Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Ustman bin Qaimaz Az-Zahabim, Al-‘Uluw Lil ‘Aliyyil Ghaffar, (Beirut: Darul Imam, 1428 H), hal. 398. 
[13]Abu Ramlah Muhammad Al-Manshur, Istiwa Allah ‘Alal ‘Arsyi, (t.tp: tp, tt), hal. 5. 
[14]Nasution, Teologi Islam…, hal. 44. 
[15]Ibid., hal. 137. 
[16]Al Imam Asy-Syaikh Abi Hasan ‘Ali bin Ismail bin Abdillah bin Abi Musa Al-Asy’ari, Al Ibanah ‘an Ushuli ad-Diyanah, (Beirut: Daaru Ibn Zaidun, t.t), hal. 9. 
[17]Ibid., hal. 34. 
[18]Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah Waljama’ah, cet. 8, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2008), hal. 84. 
[19]Ibid., hal. 307. 
[20]Ibid., hal. 308. 
[21]Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid 4, cet. 8, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 2009), hal. 160-161. 
[22]Ibid., hal. 204. 
[23]Ibid., hal. 205. 
[24]Ibid., hal. 209.


*Makalah ada ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk mendaftar kuliah di Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry Konsentrasi Pemikiran Islam pada Agustus 2014.

loading...

No comments