Guru Agama, antara Profesi dan Kompetensi


Oleh : Khairil Miswar

Bireuen, 18 Februari 2012

Dalam paradigma Jawa pendidik diidentikkan dengan guru (gu dan ru) yang berarti “digugu” dan “ditiru”. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru memiliki seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (diikuti) karena guru memiliki kepribadian utuh, yang karenanya segala tindak – tanduknya patut dijadikan panutan dan suri teladan oleh peserta didik (Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah, 2010, hal 87)

Berpijak pada teori tersebut secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa guru adalah orang yang dipercaya karena memiliki kemampuan (kompetensi) dan sekaligus juga menjadi teladan bagi anak didik disebabkan kepribadian yang dimilikinya. Menjadi guru merupakan tugas yang sangat mulia apalagi jika diringi dengan sikap ikhlas. Menjadi seorang guru sebenarnya bukanlah hal yang mudah, butuh proses panjang baik secara formal maupun informal. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dilaluinya semakin tinggi pula kemampuan yang ia miliki. Semakin banyak pengalaman semakin lihai pula dalam menghadapi berbagai persoalan dalam mendidik. Pendidikan dan pengalaman merupakan hal yang sangat penting bagi seorang guru dalam menjalani profesinya. Pendidikan tinggi tanpa pengalaman akan membuat guru kewalahan menghadapi peserta didik. Demikian pula banyak pengalaman tetapi rendahnya pendidikan juga akan membuat seorang guru kekurangan materi sehingga banyak pertanyaan dari murid yang terabaikan dikarenakan sang guru tidak memahami persoalan yang ditanyakan. 

Guru Agama

Pengetahuan tentang agama merupakan pengetahuan terpenting yang harus dimiliki setiap individu untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat. Dalam hal ini guru agama memiliki peran yang cukup besar dalam pembentukan watak, kepribadian dan pengetahuan anak didik. 

Ilustrasi. Sumber: lenterakecil.com
Fakta hari ini penulis melihat ada beberapa guru agama (di lingkungan penulis) yang pemahamannya tentang agama masih di bawah standar, sehingga proses pembelajaran agama menjadi tidak sempurna. Sebagai contoh ada rekan penulis yang mengajar agama di sekolah dasar tetapi beliau belum faham masalah sujud sahwi. Padahal beliau sudah menjadi guru agama selama lebih kurang dua puluh tahun. Hal seperti ini sangat kita sayangkan jika terus berlanjut tanpa ada solusi dari para pemerhati pendidikan. Penulis yakin bahwa fenomena ini tidak Cuma terjadi dilingkungan penulis tetapi juga terjadi di sekolah-sekolah lain. Umumnya yang mengajar pelajaran agama disekolah dasar adalah lulusan PGA dan Diploma Dua GPAI. Penulis juga memiliki seorang sahabat bergelar sarjana agama yang mengajar disekolah menengah. Kebetulan sahabat penulis tersebut tidak mengerti tentang tata cara shalat jenazah. Penulis tidak meragukan kapasitas keilmuan yang diajarkan oleh kampus tempat mereka belajar. Penulis yakin para akademisi dikampus telah memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap mahasiswa khususnya kampus-kampus yang berbasis agama seperti Instititut Agama Islam dan Sekolah Tinggi Agama Islam. Penulis melihat permasalahan terdapat pada mahasiswa itu sendiri yang masuk ke perguruan Tinggi hanya karena orientasi ijazah untuk akhirnya melamar menjadi PNS. 

Fenomena tersebut jika dibiarkan berlarut-larut akan membahayakan pendidikan agama Islam khususnya di Aceh yang sedang panas-panasnya dengan isu syariat Islam. Jika guru agama tidak faham dan awam terhadap agama bagaimana mungkin mereka mampu melahirkan peserta didik yang cerdas dan islami. 

Solusi sederhana

Sebelumnya penulis mohon maaf kepada siapapun yang membaca tulisan ini. Penulis tidak bermaksud menggurui ataupun bersikap paling tahu terhadap persoalan agama. Penulis juga sadar kalau penulis bukanlah akademisi ataupun pakar dalam pendidikan Islam. Penulis hanyalah masyarakat awam yang sedikit menaruh perhatian terhadap pendidikan Islam yang sedang berjalan di Aceh. Namun demikian izinkan penulis memberikan beberapa solusi yang menurut penulis sedikit banyaknya mampu memecahkan beberapa persoalan yang sedang terjadi, khususnya dalam hal pendidikan agama Islam. 

Pertama; pemerintah dalam hal ini dinas pendidikan ataupun Departemen Agama membuat pelatihan ataupun training kepada guru agama di segala jenjang pendidikan dimulai dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas. Dalam pelatihan tersebut para pakar bisa melakukan bimbingan kepada guru agama agar pengetahuan mereka terhadap agama semakin mantap. Pelatihan ini sebaiknya dilakukan secara rutin baik seminggu ataupun dua minggu sekali yang bertempat dilokasi yang dekat dan mudah dijangkau oleh para guru. Menurut penulis metode yang cocok untuk pelatihan ini adalah metode ceramah dan tanya jawab. Hal ini dimaksudkan agar para guru lebih banyak mendengar materi yang disampaikan dan tidak terlalu sibuk dalam mencari bahan dikarenakan mereka sudah tersibukkan dengan aktivitas disekolah. Metode tanya jawab menurut penulis juga sangat bermanfaat karena para guru bisa langsung bertanya kepada pemateri tentang persoalan – persoalan yang selama ini menjadi beban bagi mereka karena tidak mampu menjawab pertanyaan dari anak didik. Metode ini juga akan membantu para guru dalam memahami persoalan – persoalan tersebut khususnya bagi para guru yang sudah berusia empat puluh tahun keatas. Mengingat Rasul Saw ketika mengajarkan sahabatnya lebih banyak memakai metode tanya jawab sehingga proses pemindahan ilmu menjadi mudah. 

Kedua; Pemerintah (dinas pendidikan dan depag) juga bisa membuat sebuah modul ataupun buku saku yang memuat tentang pengetahuan minimal yang harus dimiliki guru agama. Dalam buku tersebut diuraikan secara singkat tentang pokok – pokok pendidikan agama yang harus mereka miliki. Buku tersebut minimal dibagi kedalam tiga bab yang mencakup masalah tauhid, ibadah dan mu`amalah. Dalam bab tauhid minimal mereka mengenal pembagian tauhid serta asma wa shifat (nama dan sifat Allah). Dalam bab ibadah sekurang – kurangnya mereka mengerti tentang tata cara shalat (seluruh bentuk shalat; shalat jenazah, shalat istisqa, shalat gerhana, dll). Untuk bab mu`amalah disesuaikan dengan jenjang sekolah dan persoalan yang sering mereka jumpai dilapangan ketika mengajar.

Ketiga; dalam perekrutan/ penerimaan guru agama baik yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun Departemen Agama sebaiknya dibuatkan soal khusus menyangkut permasalahan agama mengikuti standar minimal seperti dijelaskan dalam poin kedua diatas. Jika perlu bagi para peserta yang sudah lulus ujian tulis ditambah dengan ujian wawancara seputar masalah agama. Meskipun solusi ini nampak sulit dan bertele – tele namun menurut penulis hal ini penting diperhatikan demi terciptanya guru – guru agama yang berkualitas dan faham tentang agama. Sehingga setibanya mereka di sekolah mereka mampu melahirkan peserta didik yang cerdas dan islami. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah dimuat di Spontannews.com
loading...

No comments