Daud Beureueh dan Syariat Islam di Aceh


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 20 September 2013

Bagi kalangan muda yang peduli tentang sejarah Aceh tentu sedikit banyaknya telah mengenal siapa Daud Beureu-eh, baik melalui buku-buku sejarah ataupun lewat cerita lisan. Berbeda halnya dengan pemuda-pemuda kita yang kurang respek terhadap sejarah, mungkin mendengar nama Daud Beureu-eh saja mereka tidak pernah – bahkan apatis.

Sepanjang pengetahuan penulis, Daud Beureu-eh adalah sosok pejuang sejati yang memiliki kontribusi besar terhadap kemerdekaan Republik ini. Di samping itu, Daud Beureu-eh juga merupakan sosok yang sangat mencintai tanah kelahirannya Aceh. Tidak hanya itu, Daud Beureu-eh juga terkenal sebagai sosok ulama kharismatik di Aceh yang dikagumi oleh pengikutnya dan disegani oleh segenap musuh-musuhnya, baik Belanda – Jepang maupun sebagian kalangan Ulee Balang.

Namun demikian, amat disayangkan ada sebagian pihak di Aceh yang justru menganggap Daud Beure-eh sebagai pengkhianat terkait dengan kembalinya beliau ke pangkuan ibu pertiwi setelah sekian lama naik turun gunung. Menurut penulis anggapan bahwa beliau seorang pengkhianat adalah pendapat yang sangat naif dan absurd serta bertentangan dengan fakta sejarah. Kembalinya Daud Beureu-eh ke pangkuan Republik Indonesia, tidaklah menjadi dalil bahwa beliau seorang pengecut – apalagi jika hendak dituduh sebagai pengkhianat.

Daud Beureu-eh adalah seorang ulama besar yang pernah dimiliki oleh Aceh di era pra dan awal-awal kemerdekaan. Beliau adalah seorang ulama yang mendapat didikan dari lembaga pendidikan tradisional yang ada di Aceh ketika itu. Ibrahimy (2001: 261) mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.

Daud Beureu-eh
Daud Beureu-eh semakin dikenal publik ketika beliau memimpin Organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang berdiri pada tahun 1939. Organisasi tersebut diketuai oleh Daud Beureu-eh (Dada Meuraxa , 1956: 18). Dikisahkan bahwa sebelum kelahiran PUSA perkembangan agama Islam di Aceh belum menunjukkan gejala yang menggembirakan. Tidak semua rakyat Aceh memahami agama Islam secara intensif dan korelasi antara pengetahuan agama dengan penngetahuan umum masih sangat kurang. Aqidah orang Aceh sebelum berdirinya PUSA masih banyak dipengaruhi oleh khurafat dan bid’ah (Lembaga Research dan Survei IAIN Ar-Raniry, 1978: 10).

Daud Beureu-eh adalah ulama yang sangat kuat pegangannya kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dalam seruan dakwah yang disampaikan oleh Daud Beureu-eh pada tahun 1954, beliau berkata: “Kita dan Ibu Bapa kita adalah umat Islam. Umat Islam wadjib mendjundjung tinggi Quran dan Hadis sebagai dasar hukum dalam pergaulan hidupnja. Mereka jang merobah Quran dan Hadis atau menolak sebahagianja adalah mereka itu kafir hukumnja dan putuslah tali nasab (hubungan tali keturunannja) dengan ibu bapanja” (Geulanggang, 1956: 54).

Kecintaan Daud Beureu-eh terhadap Islam tak perlu diragukan lagi. Keinginan Daud Beureu-eh untuk menerapkan Syariat Islam di Aceh bukanlah isapan jempol semata dan bahkan telah beliau buktikan dengan segenap pemikiran dan gerakan yang beliau lakukan ketika itu. Di antara gerakan yang dilakukan oleh Daud Beureu-eh untuk mempertahankan nilai-nilai Islam, khususnya di Aceh adalah kesediaannya bergabung dengan Kartosuwiryo dan memimpin pemberontakan DI TII di Aceh. 

Tujuan utama pemberontakan DI TII yang dipimpin oleh Daud Beureu-eh di Aceh pada 21 September 1953 adalah untuk membentuk Negara Islam. Dalam maklumat pemberontakan tersebut dinyatakan bahwa mereka (DI TII) akan melenyapkan kekuasaan Pancasila di Aceh dan menggantinya dengan Pemerintah Negara Islam (SM. Amin, 1956: 48). Dalam naskah proklamasi 21 September 1953, Daud Beureu-eh menyatakan bahwa Aceh sejak tanggal tersebut menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan oleh Imam Kartosuwiryo (Amin, 1956: 249). Dengan demikian sejak tanggal 21 September 1953, Aceh keluar dari rangkaian Negara Pancasila Republik Indonesia, dan sejak tanggal itu pula Aceh resmi menjadi Daerah Negara Islam (Geulanggang, 1956: 31).

A.H. Geulanggang mengisahkan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Daud Beureu-eh pada tahun 1953 selain mendapat dukungan rakyat juga turut didukung oleh Bupati, Patih, Wedana, Camat, para Kepala Jawatan dan juga para Pegawai Negeri (A. H. Geulanggang, 1956: 43). Fakta ini tentu berbeda dengan pergolakan yang terjadi di Aceh pada era 1976 – 2005 yang pada awalnya justru tidak mendapat respon positif dari masyarakat dan menghabiskan waktu 20 tahun lebih untuk menanamkan idiologinya.

Daud Beureu-eh juga menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap Pemerintah Indonesia merupakan ekses dari tidak terealisasinya janji Soekarno. Menurut Daud Beureu-eh Soekarno adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pemberontakan tersebut. Daud Beureu-eh juga berprinsip bahwa siapa saja yang tidak menjalankan hukum Allah, maka di adalah kafir (Amin, 1956: 250).

A. H. Geulanggang dalam bukunya menyimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Beureue-eh adalah murni untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh dan bukan karena beliau digeser dari kursi pemerintahan (Geulanggang, 1956: 43) sebagaimana dituding oleh sebagian pihak yang anti kepada perjuangan Abu Beureu-eh.

Daud Beureu-eh dikenal sebagai ulama yang keras pendiriannya dalam mempertahankan ajaran Islam. Pernah suatu ketika, pada saat Daud Beureu-eh berkhutbah di Mesjid Raya Kuta Raja, beliau dengan terang-terangan menyatakan bahwa komunis adalah musuhnya umat Islam dan beliau meminta rakyat Aceh untuk menjauhi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu sudah mulai masuk ke Aceh (Ibrahimy, 2001: 262-263).

Beberapa penulis juga mengisahkan bahwa ketika Daud Beureu-eh menjabat sebagai Gubernur Militer untuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo beliau pernah mengeluarkan seruan pada 18 September 1948 sebagaimana dicatat oleh Amin (1956: 291) yang merupakan maklumat kepada masyarakat agar tidak melakukan maksiat. Dalam seruan tersebut Daud Beureu-eh mengancam akan mengevakuasi para pelaku maksiat dari wilayah yang dipimpinnya.

Namun apa yang terjadi hari ini, khususnya di Aceh? Pasca gempa tsunami 26 Desember 2004. Muda-mudi bebas berpelukan di jalan raya, artis-artis Aceh dengan girangnya melenggak-lenggok pinggul yang kemudian direkam dalam VCD dan dipasarkan ke seluruh Aceh, bahkan di luar Aceh. Perilaku mesum semakin marak, judi semakin merajalela – padahal Dinas Syariat Islam telah berdiri megah di Aceh. Ketika azan berkumandang, mesjid-mesjid bukannya penuh tapi malahan kosong dari jama’ah. Ketika mendengar azan, remaja dan pemuda kita bukannnya mencari mesjid, tapi mereka berdesak-desakan di warkop dalam rangka memuja poker dan game online.

Dulu, kita dengan penuh semangat meneriakkan yel-yel syariat Islam, sekarang setelah eksekutif dan legislatif berhasil dikuasai oleh putra-putra Aceh yang katanya pro kepada penegakan Syariat – tapi nyatanya Qanun Jinayah sampai sekarang belum jelas nasibnya.

Seandainya Daud Beureu-eh masih hidup, tentu beliau tidak akan membiarkan bangsanya larut dalam kemaksiatan sebagaimana terjadi sekarang ini. Akhirnya kita hanya bisa berharap agar gelar Serambi Mekkah yang telah disandang oleh Aceh selama berabad-abad tidak kandas di tangan generasi Aceh hari ini. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah dimuat di Harian Waspada Medan


loading...

No comments