Da'i Selebritis


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 20 Februari 2014

Kemunculan da’i-da’i muda di Indonesia dapat kita saksikan sendiri melalui beberapa stasiun televisi yang ada di Indonesia. Apalagi di Bulan Ramadhan, para da’i nampak kebanjiran job sehingga mereka kelihatan sibuk untuk membagi waktu karena ramainya permintaan untuk manggung. Secara kuantitas, jumlah da’i di Indonesia saat ini, khususnya da’i televisi tidak kalah dan bahkan hampir sebanding dengan jumlah selebritis yang saban hari menghiasi pemberitaan khususnya di acara-acara “infotainment”. Media infotainment itu sendiri meski indentik dengan dunia selebritis, namun pada kenyataannya para da’i juga tidak ketinggalan nimbrung dan diperbincangkan melalui media tersebut.

Ustaz Nur Maulana. Sumber: www.appszoom.com
Pada prinsipnya dengan lahirnya banyak da’i di Indonesia di satu sisi juga patut diapresiasi mengingat keberadaan para da’i itu sendiri sangat dibutuhkan di tengah karut-marutnya Indonesia dengan berbagai “penyakit umat” seperti korupsi, tawuran, perampokan, perkosaan dan tindakan asusila lainnya yang sudah masuk dalam tahap kronis. Namun di sisi lain, dengan munculnya berbagai corak da’i di Indonesia juga patut dikhawatirkan karena nilai-nilai Islam bisa tercoreng akibat perilaku sebagian da’i yang justru melecehkan keagungan Islam itu sendiri.

Kehadiran “ustaz gaul” di Indonesia dengan berbagai gaya dakwah dan penuh dengan lelucon menurut penulis sah-sah saja selama tidak kelewat batas alias kebablasan. Namun dalam pandangan penulis tingkah sebagian da’i (ustaz) di Indonesia hari ini telah masuk dalam katagori memperolok-olok kemuliaan dakwah itu sendiri dengan model dakwah yang dibuat-buat. Perilaku olok-olok tersebut salah satunya adalah dengan munculnya da’i “ala bencong” yang di antaranya dipraktekkan oleh “Ustaz M. Nur Maulana”. Perilaku “da’i bencong” itu sendiri dalam pandangan penulis telah merendahkan nilai-nilai Islam, apalagi Islam secara tegas melarang seorang laki-laki menyerupai perempuan, demikian juga sebaliknya. Perilaku “da’i bencong” merupakan salah satu contoh dari sekian banyak model da’i yang ada di Indonesia hari. Di satu sisi mereka menyiarkan Islam kepada umat, namun di sisi lain mereka justru terkesan merusak nilai-nilai Islam. Sebuah sikap yang jelas-jelas kontradiktif.

Mengintip Da’i Aceh 

Pada prinsipnya kritikan dan pujian itu bagai dua sisi mata uang dalam artian saling melengkapi dan menutupi. Pujian diperlukan untuk menambah semangat agar tetap optimis dan juga berguna untuk melahirkan motivasi sehingga usaha-usaha selanjutnya menjadi maksimal. Namun pujian yang berlebihan terkadang dapat membuat seseorang terperosok dalam jurang kehancuran. Sebagaimana halnya pujian, kritik juga diperlukan sebagai penyeimbang agar benih-benih kelemahan, kesilapan dan kesalahan dapat terobati sehingga penyakit “ananiyah” (akulah/ego) tidak hinggap di hati. Dalam konteks inilah penulis memberanikan diri untuk menelurkan tulisan ini. Tidak ada sedikitpun niat di hati penulis untuk menggurui siapapun apalagi sampai menjadi hakim yang memainkan palu.

Sebagaimana telah penulis terangkan di atas bahwa kemunculan da’i yang ber-aneka ragam secara umum terjadi di Indonesia, dan secara khusus fenomena ini juga melanda Aceh. Jika kita cermati dengan seksama hampir dapat disimpulkan bahwa sebagian (besar) da’i di Aceh hari ini tidak jauh berbeda dengan da’i-da’i televisi yang telah penulis singgung di atas. Jika ingin diklasifikasikan, maka secara umum menurut penulis ada dua model da’i di Aceh; pertama “da’i tradisional” dan kedua “da’i modern”. Da’i tradisional adalah da’i yang melaksanakan aktivitas dakwahnya secara sederhana serta mengikut kepada model dakwah para pendahulu umat ini dengan menyuguhkan materi dakwah yang penuh dengan hikmah dan nasehat. Da’i tradisional adalah mereka-mereka yang berdakwah secara bijak dengan menegakkan hujjah (dalil) dalam setiap pembicaraanya serta mengajak umat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Model da’i tradisional ini sudah sangat langka di Aceh. Model dakwah tradisional ini biasanya dipraktekkan oleh para “Abu” atau ulama-ulama chiek dengan gaya bicara yang sederhana dan langsung kepada substansi dakwah tanpa dibumbui dengan gaya yang berlebihan.

Sedangkan da’i modern adalah para da’i yang lahir di abad modern dengan model dakwah yang mengikut ala modern. Da’i modern ini terbagi ke dalam dua katagori; Pertama, “da’i modern ala tradisional”; maksudnya gaya ceramah mereka bersifat modern namun prinsip dalam berdakwah tetap mengikut kepada model tradisional yaitu mengajak umat untuk bertaqwa kepada Allah dengan cara menegakkan dalil dalam setiap dakwahnya namun dalam pembicaraannya dibumbui dengan retorika ala modern agar menarik untuk disimak oleh umat. Model da’i seperti ini juga sudah mulai langka di Aceh. 

Selanjutnya tipe kedua dari da’i modern adalah “da’i modern ala selebritis”. Tentang da’i selebritis ini sebenarnya sudah banyak ditulis oleh para penulis di beberapa media, khususnya media nasional. Namun demikian, fenomena ini tetap menarik untuk dibahas. Jumlah da’i ala selebritis ini terbilang cukup banyak di Aceh dan paling digemari oleh sebagian masyarakat Aceh. Da’i model ini adalah para da’i yang memposisikan dirinya sebagai penghibur massa dengan berbagai gaya yang mereka mainkan. Sebagian dari mereka ada yang menjadi pelawak di atas panggung dengan menyuguhkan materi dakwah yang penuh dengan lelucon sehingga massa tertawa terbahak-bahak dan bahkan terpingkal-pingkal mendengar celotehan sang da’i. Dalam menjalankan dakwahnya da’i model ini tidak segan-segan mengarang cerita-cerita lucu untuk disampaikan kepada massa agar dakwahnya menjadi semarak. Ironisnya lagi, dalam sebagian dakwahnya, khususnya dalam dakwah maulid dan israk mi’raj para da’i ini membuat cerita-cerita palsu dan disampaikan dengan gaya meniru “bahasa ala bencong” dengan maksud agar para pendengar tertawa. Terkadang tanpa disadari melalui cerita-cerita palsu tersebut mereka (da’i) justru melecehkan nilai-nilai Islam. 

Di samping itu, ada pula da’i lainnya yang berakting layaknya penyanyi panggung. Setelah membuka pembicaraan dengan puji-pujian sekedarnya plus shalawat ala kadar, mereka (da’i) langsung tancap gas menyanyikan berbagai model lagu, mulai dari lagu India sampai lagu “Krisdayanti dan Syarini”. Tak ada satu pun ayat Al-Qur’an yang keluar dari mulut mereka, demikian juga tidak ada sebaris haditspun yang mereka bacakan untuk umat.

Menurut penulis, kedua tipe da’i yang penulis sebutkan terakhir adalah para da’i yang telah keluar dari katagori da’i secara hakiki. Mereka hanyalah “da’i majazi” yang secara lahir nampak sebagai da’i karena penampilan mereka dihiasi dengan peci putih dan “ija ridak” di bahu, namun pada prinsipnya mereka hanyalah para penghibur yang menjadikan medan dakwah sebagai sarana bisnis guna meraup keuntungan duniawi. Sebagai da’i seharusnya mereka mencerdaskan umat dengan nilai-nilai Islam, bukannya melalaikan umat dengan nyanyian dan lelucon yang mereka buat-buat.

Menurut penulis, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh harus mengambil peran untuk membimbing para da’i selebritis agar mereka tidak merusak nilai-nilai Islam dengan gaya mereka yang kebablasan dalam berdakwah. Jika kita ingin syariat Islam tegak di Aceh, maka da’i-da’i selebritis ini harus ditertibkan dan dikembalikan ke habitatnya. Model dakwah yang dikembangkan oleh da’i seleberitis sama sekali tidak membawa pengaruh kepada perubahan sikap umat. Munculnya berbagai aliran sesat di Aceh menjadi bukti bahwa dakwah yang dikampanyekan oleh da’i selebritis sama sekali tidak efektif. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah dimuat di Atjehlink.com
loading...

No comments