Aceh, Politik dan Al-Qur'an

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 18 Mei 2013

“Aceh nyoe kaya nama pih meugah
Meubek meutuwah gata peuhina” 
(Syeh Rih Krueng Raya,1985)

Ketika nama Aceh disebut, kira-kira apa yang terlintas di benak kita selaku anak bangsa? Tidak bisa tidak, tentunya kita akan merasa bangga dan terkagum-kagum. Tidak cuma kita sebagai putra-putri Aceh yang lahir dan hidup di Aceh, mereka yang di seberang sanapun ikut tersenyum termalu-malu. Betapa tidak, banyak sekali hal istimewa di Aceh yang tidak pernah mereka temui di tanah kelahiran mereka. 

Aceh adalah gerbang utama masuknya Islam ke Nusantara. Berabad-abad lamanya Aceh telah dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan, pengajaran dan pemikiran keagamaan. Pada masa kerajaan, Aceh telah diperintah oleh 35 orang penguasa muslim (sultan) hampir empat abad lamanya (L.K. Ara dkk, 1995). Tidakkah fakta ini membuat kita bangga?

Tidak cuma itu, pada masa kerajaan, di Aceh pernah hidup ulama-ulama besar semisal Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf As-Singkili yang kedua nama tersebut telah diabadikan sebagai nama dua perguruan tinggi negeri di Aceh. Di masa perjuangan kemerdekaan, terkenal pula beberapa ulama besar, di antaranya Tgk. Chiek Di Tiro dan Tgk. Chiek Pante Kulu. Selanjutnya di masa menjelang dan pra kemerdekaan Indonesia, terdengar pula nama-nama ulama pembaharu seperti Tgk. Daud Beureu-eh, Abdurrahman Meunasah Meucat dan Ali Hasyimi serta segudang nama-nama lainnya yang tidak mungkin dicantumkan satu-persatu dalam tulisan singkat ini.

Aceh memiliki sejarah panjang dan heroik serta pernah menjadi pusat peradaban Islam di Nusantara dan merupakan lumbungnya ulama serta tokoh intelektual Islam sehingga menjadikan Aceh sangat patut dan pantas disebut sebagai Serambi Mekkah, tapi itu dulu. Bagaimana dengan sekarang?

Aceh dan Politik

Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa di masa lampau, ulama memiliki peran yang sangat besar di Aceh, baik dalam hal keagamaan maupun dalam kegiatan politik. Sebagai contoh, Abu Daud Beureu-eh, selain sebagai ulama, beliau juga seorang pemimpin politik yang berpengaruh di masanya. Karena pengaruhnya beliau pernah diangkat oleh Muhammad Hatta sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Tidak cuma itu, beliau juga pernah menjabat sebagai Gubernur Aceh pasca kemerdekaan Indonesia.

Aset lainnya yang dimiliki Aceh di masa lampau adalah Ali Hasyimi yang merupakan tokoh multi talenta. Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan, akademisi dan juga tokoh politik. Di antara jabatan yang pernah diembannya adalah Gubernur Aceh, Ketua MUI dan juga Rektor IAIN Ar-Raniry, sungguh sebuah prestasi gemilang yang belum ada tandingannya di Aceh hari ini.

Dari riwayat singkat tokoh-tokoh di atas, kiranya ada dua pertanyaan penting yang harus kita jawab, khususnya dalam konteks perpolitikan di Aceh. Pertanyaan pertama; apakah ada tokoh-tokoh politik di Aceh hari ini yang memiliki figur dan pengaruh layaknya Daud Beureu-eh dan Ali Hasyimi? Terserah apa jawaban anda, namun menurut penulis jawabannya singkat saja; “tidak ada!”. 

Pertanyaan kedua; pernahkah Daud Beureu-eh dan Ali Hasyimi melakukan aksi teror dan intimidasi dalam kegiatan politiknya? Lagi-lagi terserah apa jawaban anda. Menurut penulis, jawabannya juga sangat singkat; “hana pernah”. Tidak percaya buktikan sendiri.

Dalam pandangan penulis, Daud Beureu-eh dan Ali Hasyimi adalah tokoh besar yang sampai dengan detik ini belum ada penggantinya di Aceh. Daud Beureu-eh adalah mantan pemimpin Laskar Mujahidin yang sangat ditakuti (El Ibrahimy, 2001) dan disegani di Aceh ketika itu. Namun perlu di catat bahwa takut dan segannya rakyat Aceh kepada beliau, bukan karena “teror”, tapi karena kewibawaan dan keulamaannya. Demikian pula dengan Ali Hasyimi, beliau menjadi Gubernur Aceh, Rektor dan Ketua MUI, bukan karena intimidasi, tapi karena kecerdasan dan kedewasaanya dalam berpolitik. Lantas bagaimana dengan tokoh politik kita hari ini, belum lagi menjadi caleg sudah rajin meneror dan menebar ancaman, apa kita tidak malu dengan sesepuh kita?

Aceh dan Al-Quran

Dulu, tokoh-tokoh kita di Aceh, selain berperan aktif dalam pergerakan politik, mereka juga menjadi ulama yang disegani oleh rakyat dan para pengikutnya. Di samping itu, ramai pula tokoh-tokoh Aceh yang menjadi intelektual muslim sekaligus penulis terkemuka, semisal Syekh Ar-Raniry, Syiah Kuala (masa kerajaan), Hasbi Ash-Shiddiqie dan Aboebakar Atjeh (awal masa modern).

Teungku Hasbi Ash-Shiddiqy
Tokoh-tokoh Aceh dahulu adalah tokoh-tokoh Qurani dan kental rasa keagamaannya. Berbeda halnya dengan tokoh-tokoh politik di Aceh hari ini. Ramai terlihat tokoh politik kita hari ini yang berlagak sufi, tapi ternyata bandit. Adapula tokoh politik kita yang tampak bersahaja dalam penampilannya, tapi menjadi preman di arena politik. 

Jika tokoh kita dulu menjadi ahli tafsir Al-Quran semisal Hasbi Ash-Shiddiqie, tokoh kita sekarang justru jauh panggang dari api, jangankan menafsirkan Al-Quran, membaca saja mesti merangkak layaknya kura-kura bunting. Jika tokoh politik kita dahulu seorang faqih serta fasih membaca Al-Quran dan bahkan menjadi imam shalat semisal Abu Beureu-eh, tokoh politik Aceh sekarang, jangankan menjadi imam, menjadi makmum saja jarang. Lantas apa yang mesti kita banggakan sekarang?

Politik dan Al-Quran

Al-Quran adalah kalam Tuhan yang menjadi pedoman hidup setiap muslim. Yang namanya orang Aceh tentunya akan dilanda marah besar jika disebut bukan muslim. Aceh itu fanatik, demikian slogan yang selalu terdengar di telinga kita sampai dengan detik ini. Tapi benarkah begitu? 

Dalam beberapa hari terakhir tersiar kabar bahwa banyak calon legislatif kita yang tidak mampu membaca Al-Quran. Aneh memang, tapi ini adalah fakta yang tidak bisa diingkari. Al-Quran yang seharusnya menjadi teman hidup, malah ditinggalkan di atas “bara pinto” dengan alasan agar syaitan tidak dapat masuk ke rumah, mereka lupa jika mereka sendiri adalah syaitan bertubuh manusia yang takut dengan suara Al-Quran. 

Al-Quran hanya dijadikan alat untuk dapat menembus persyaratan caleg di musim pemilu. Ketika musim pemilu telah usai, Al-Quran kembali ditinggalkan. Al-Quran mereka pelajari sebagai sebuah keterpaksaan demi memenuhi hajat menjadi calon legislatif, Bupati dan Gubernur, tidak lebih dari itu.

Salah Satu Buku Karya Aboebakar Atjeh
Sekarang, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, masih patut dan layakkah kita memproklamirkan diri sebagai putra-putri Serambi Mekkah? Aceh yang dulunya megah dengan ilmu agama, sekarang telah menjadi rendah di mata umat lantaran kejahilan kita akan Al-Quran. Tidak salah jika Syeh Rih Krueng Raya berpesan dalam syairnya; “Aceh nyoe kaya nama pih meugah. Meubek meutuwah gata peuhina”. Mari bercermin. Wallahul Musta’an.\

Artikel ini sudah dimuat di The Globe Journal
loading...

No comments