50 M untuk WN, Biaya Pengukuhan atau Keangkuhan?


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 02 Oktober 2013

Judul tulisan ini adalah “copy paste” dari status Faurizal Sira, seorang teman di Facebook (02/10/13). Mohon maaf sebelumnya kepada Tgk Faurizal Sira karena status FB-nya terpaksa di “copas”, mengingat sulitnya menemukan judul yang cocok guna sekedar menyikapi pemberitaan Serambi Indonesia (02/10/13) terkait dengan usulan dana pengukuhan WN senilai 50 M. 

Bagi penulis, sangat tidak mudah untuk melahirkan sebuah judul yang “melankolis”, apalagi jika sasarannya adalah lembaga “Tuan Besar” sekaliber WN. Untuk itu sangat dianjurkan untuk hati-hati. Di antara puluhan judul yang bergentayangan di kepala penulis, status milik Tgk Faurizal terasa sangat santun sehingga cukuplah alasan bagi penulis untuk menggunakan status tersebut sebagai tajuk tulisan ini.

Baiklah, beberapa baris kalimat di atas rasanya sudah “meumada” sebagai pembuka tulisan sederhana ini. Tentunya akan sangat membuang waktu jika penulis berlama-lama dalam membahas judul tulisan ini yang lumayan “melankolis”. Namun beberapa kalimat di atas sangat penting, setidaknya sebagai pertanggungjawaban ilmiah, agar judul ini tidak dituduh plagiat.

Sebagaimana diberitakan oleh Serambi Indonesia (02/10/13) bahwa Adnan Beuransyah mengusulkan kepada Pemerintah Aceh agar mengalokasikan anggaran Rp 50 miliar dalam RAPBA-P 2013 untuk kepentingan pengukuhan Wali Nanggroe IX yang dijadwalkan Desember mendatang. Di antara alasan Adnan mengusulkan dana yang terbilang fantastis tersebut karena kegiatan dalam rangka pengukuhan Wali Nanggroe IX nantinya cukup banyak. Ada yang sifatnya lokal, nasional, dan internasional.

Di antara bentuk acara bernuansa local yang dimaksud oleh Adnan adalah membuat kenduri raya dengan mengundang satu juta masyarakat Aceh dari 23 kabupaten/kota. Sedangkan kegiatan yang bersifat nasional adalah mengadakan seminar terkait kedudukan Wali Nanggroe. Tidak hanya itu, katanya juga akan diundang raja-raja yang telah diakui oleh negara seperti Raja Yogyakarta. Di samping itu menurut Adnan dalam pengukuhan WN tersebut juga akan diundang raja-raja dari negara sahabat seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Arab Saudi. Kecuali itu, Adnan juga berdalih bahwa anggaran maksimal (50 M) tersebut juga bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Aceh. Menurut Adnan, acara pengukuhan WN yang meriah akan menjadi kenangan bagi para tamu sehingga masyarakat Aceh akan dikenal sebagai masyarakat yang sangat memuliakan tamu, demikian ceramah singkat yang disampaikan oleh Adnan di Serambi Indonesia.

Sebelum membahas isi ceramah Adnan sebagaimana telah penulis uraikan di atas, baiknya kita simak sebuah status yang ditulis oleh Nasrullah Dahlawy di akun FB-nya yang berbunyi: “PAD DKI sekitar 18 triliyun per tahun. PAD ACEH sekitar 900 milyar. Tetapi walau pun PAD DKI 20 kali lebih besar PAD ACEH, biaya pelantikan Gubernurnya cuma 500 juta rupiah. Jadi rasio biaya antara pengukuhan di Aceh dengan pelantikan di Jakarta setelah diperhitungkan PAD-nya berkisar 2000 kali lipat lebih mahal Aceh”. 

Selain Faurizal dan Nasrullah Dahlawy, pemberitaan tentang dana 50 M juga ikut dikomentari Taufik Al Mubarak, penulis buku “Aceh Pungo”. Di akun Fb-nya Taufik menulis: Tau nggak, dana Rp50 Miliar itu terlalu sedikit, apalagi jika pada pelantikan nanti kita undang orang-orang hebat, seperti Presiden Barack Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Ketua CMI Martti Ahtisaari, Ketua Parlemen Uni Eropa, Sekjen PBB, Sekjen NATO. Artinya, Aceh harus tampak benar-benar bermartabat di mata mereka. Nyoe keuh nyang geukheun LOBI ACEH (bisa mengalahkan Lobi Yahudi)...ini akan memuluskan jalan untuk menuntaskan janji “Sibak Reukok Teuk”, demikian kata Mubarak.

Setelah menikmati beberapa komentar di atas, kira-kira apa yang terbesit di pikiran kita? Tentunya kita sangat bangga dan merasa sangat beruntung menjadi masyarakat Aceh yang tidak lama lagi akan mengalahkan Brunei Darussalam dan Arab Saudi. Janji “Sibak Rukok Teuk” sebagaimana dikemukakan oleh Taufik Al Mubarak di atas akan segera terwujud; jika di-Acehkan mungkin akan berbunyi: “rukok tinggai sibak teuk, lheuhnyan kapayah lake rukok gop”.

Namun demikian, dalam pandangan penulis, aneh rasanya jika dana pengukuhan WN senilai 50 M tersebut dianggap sebagai sebuah media ampuh untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat Aceh di mata internasional. Statemen Adnan tersebut akan memunculkan sebuah pertanyaan besar; benarkah harkat dan martabat Aceh selama ini sudah sangat terpuruk di mata internasional sehingga harus menghabiskan dana 50 M agar martabat tersebut kembali terangkat? Nampaknya rakyat Aceh sudah cukup cerdas untuk dikibuli dengan argument ngawur yang dibungkus dengan logika murahan sebagaimana disampaikan oleh Adnan di Media. Argument tersebut tidak hanya membuat rakyat Aceh menggeleng-gelengkan kepala – bahkan bayi dalam kandungan (yang belum tentu lahir) pun tersenyum sinis mendengar penjelasan pak Adnan.

Di samping itu, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya bahwa WN adalah lembaga adat yang akan menjadi simbol pemersatu rakyat Aceh, namun faktanya sebagian pihak di Aceh justru menyatakan keberatannya terhadap lembaga tersebut, karena dianggap diskriminatif. Artinya persoalan WN meskipun telah diatur oleh Qanun namun belumlah menjadi “ijmak” rakyat Aceh, di mana tidak semua rakyat Aceh sepakat dengan qanun tersebut. Tentunya penolakan ini akan terus bergulir jika usulan dana 50 M itu nantinya disepakati oleh pihak eksekutif. Dengan demikian potensi “khilaf” terkait Qanun WN akan semakin melebar. Jika hal ini terjadi, maka “fatwa” bahwa WN adalah pemersatu rakyat Aceh menjadi tidak terbukti.

Terkait dengan rencana mengundang para raja baik dari dalam negeri maupun luar negeri, menurut penulis juga terkesan aneh. Jika yang di undang adalah raja-raja (simbolik) seperti di Jogjakarta mungkin masih dimengerti. Tapi hal ini akan menjadi aneh ketika Raja Malaysia, Brunei, Thailand dan Arab Saudi juga turut diundang. Pada prinsipnya memang tidak ada larangan untuk mengundang para raja tersebut, namun pertanyaannya apa hubungannya kehadiran para raja tersebut dengan pengukuhan WN? Bukankah WN hanya lembaga adat? Jika memang WN lembaga adat, harusnya yang diundang cuma raja-raja adat, bukan raja yang berstatus sebagai penguasa semisal Raja Arab Saudi dan Brunei Darussalam. Sebagai contoh, Raja Abdullah di Arab Saudi bukanlah pemimpin adat, beliau adalah pemimpin negara, demikian pula dengan Sultan Hasanal Bulqiah.

Ilustrasi. Sumber: bisnisinvestasimurah.blogspot.com
Satu lagi argument aneh menurut penulis, sebagaimana dikatakan oleh Adnan bahwa dengan meriahnya pengukuhan WN akan menjadikan masyarakat Aceh dikenal sebagai bangsa yang memuliakan tamu. Argument ini pada prinsipnya bisa benar dan bisa salah. Namun dalam konteks Aceh saat ini nampaknya argument ini sedikit keliru. Sebagai seorang muslim tentu kita tau bahwa memuliakan tamu adalah sebuah kebaikan dan bahkan keutamaan. Namun menjadi aneh ketika kita berlomba-lomba memuliakan tamu, sementara penghuni rumah kita (rakyat Aceh) sendiri mengikat perut menahan lapar. Apakah pantas kita menghabiskan anggaran milyaran rupiah hanya untuk memuliakan tamu, sedangkan rakyat kita meureh-reh ie babah? Bukanlah lebih baik jika dana sebanyak itu dibagi saja satu juta per-KK guna merealisasikan janji di masa kampanye?

Penggunaan dana 50 M untuk pengukuhan WN ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah kemubazziran, apalagi perbandingan PAD Aceh yang jauh berbeda dengan PAD DKI, sebagaimana diutarakan oleh Dahlawy. Akhirnya terjawablah sudah status yang ditulis oleh Faurizal, bahwa dana 50 M tersebut adalah sebuah bentuk keangkuhan.

Namun demikian, dari beberapa argument yang disampaikan oleh Adnan, program kenduri raya dengan mengundang satu juta rakyat Aceh merupakan program yang lumayan bermanfaat dan patut didukung, setidaknya untuk perbaikan gizi rakyat. Laen pih tan. Wallahu A’lam. 

Artikel ini sudah dimuat di Atjehlink.com
loading...

No comments